Minggu, 27 Desember 2009

Dia [tak] Bisa mati

Golden Water bukanlah kota dengan airnya yang kuning keruh seperti emas mengaliri sungai, parit, dan selokan. Tapi, sebuah kota yang penuh dengan bangunan-bangunan dan jalan-jalan indah yang setiap terkena cahaya akan bersinar menyilaukan bagai kerlipan emas berlian. Tata kota yang modern menjadikan kota Golden Water tetap indah dipandang. Setiap kawasan-kawasan yang ada terpisahkan dalam jarak yang jauh, tapi terdapat jalur transportasi yang lancer. Ada kawasan pemukiman, pertokoan, perindustrian, perkantoran, taman kota dan hiburan, serta pusat kesehatan. Dengan menerapkan tempat parker yang sempit, mampu membuat warga kota memilih memakai kendaraan umum.
Kemajuan ini tak terlepas dari jasa Sang Pahlawan –begitu julukan yang diberikan oleh warga, ada pula yang menyebutnya Sang Pemberi, Sang Pemurah- yang tinggal di sebuah gedung megah dan tinggi yang sering disebut “Aras”.
***

Pagi itu, seperti biasanya, Panji –seorang siswa SMA- telah berdiri di halte bis di depan rumahnya bersama beberapa orang. Sinar matahari kerlap-kerlip bagai permata menari-nari di permukaan aspal yang basah oleh hujan semalam. Pukul setengah delapan, tepat sesuai jadwal- sebuah bus bercat kuning berhenti di halte. Dengan teratur, pata penumpang naik dari pintu belakang dan turun dari pintu depan. Tak berapa lama, bus itu meluncur nyaman.
Pemukiman penduduk di kanan kiri jalan telah berganti menjadi taman kota yang luas dan asri. Lalu, berubah menjadi gedung-gedung perkantoran bertingkat. Sebelum akhirnya sampai di depan sekolah yang ia tuju. Jauh di ujung jalan terdapat pusat hiburan remaja, sesudahnya baru akan ditemui kawasan industri yang bising dengan deru mesin-mesin.
Masih ada waktu seperempat jam sebelum jam pertama dimulai pada pukul delapan. Tak berbeda dengan siswa lain, Panji segera meminjam buku kepada temannya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Pemandangan ini menjadi salah satu potret buruk remaja kota yang mempunyai semboyan “Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Titi Tenterem Kertaraharja, Tukul Tanpa Tinandur, [Pinter Tanpa Sinau]”.
***

“Nanti malam ada rencana pergi kemana?” tanya Angga. “Bagaimana kalau kita ke Warung Remaja?” usulnya.
“Ide Bagus,” cetus Sarah.
“Tapi, kita masih ada tugas sekolah yang harus diselesaikan,” sanggah Panji.
Semua saling melempar pandangan, mencoba mencari jalan keluar.
“Ok! Begini saja, kita ngerjain tugasnya bareng-bareng di rumah Panji,” usul Yordan. “Setelah selesai barulah kita ke Warung Remaja. Gimana?”
Akhirnya, keenam siswa yang duduk melingkari meja bundar di kantin itu memutuskan untuk mengerjakan tugas bersama-sama. Tidak ada yang sulit jika ditanggung bersama, semboyan mereka.
***

Malam telah tiba, Panji duduk berkelakar di lantai kamar. Bersandar pada tempat tidur yang dirapatkan ke dinding. Matanya lekat menatap layar laptop yang memendarkan cahaya biru ke wajahnya. Dengan sekali menekan tombol “Enter” di keyboard, layar terbagi menjadi dua bagian sama besar. Masing-masing memunculkan gambar teman-temannya yang berada di dalam mobil. Dalam perjalanan ke rumahnya, pikir Panji.
“Sabar, Say,” ujar Sinta sembari mengerlingkan mata, genit. Ia duduk di bangku belakang. “Sebentar lagi kami sampai.”
“Yup!” seru Yordan di dalam mobil lain. Mengiyakan perkataan Sinta.
“Baiklah! Tapi, jangan terlalu lama. Keburu tugasnya aku selesaikan dulu,” canda Panji disambut tawa teman-temanya.
“Daaaaaah,” seru Sinta melambaikan tangan. Seketika gambar mereka hilang dari layar.
Beberapa saat kemudian, terdengar pintu diketok.
“Sebentar!” seru Ibu dewi –ibunda Panji- beranjak ke depan.
“Malam, Tante!” sapa Sinta, Angga, Yordan dan teman-temannya serentak.
“Malam! Ayo, masuk! Sudah ditunggu Panji di kamar,” balas Ibu Dewi.
Panji yang sedang duduk terdiam sedikit kaget saat pintu kamarnya dibuka dan terdengar seruan Angga, “Hai!! Sudah dikerjain semua, kan?” dengan senyum lebar di bibirnya.
“Kurang ajar, kamu!” Panji balik berseru.
“Ayo! Ayo!!” seru Angga menepuk-nepukan tangannya memberi semangat kepada teman-temannya. “Saatnya beraksi!!”
Tanpa pikir panjang, semua mengambil posisi duduk. Sinta duduk di samping Panji, tak lupa ia mendaratkan satu kecupan di pipi kekasihnya itu.
Mereka berusaha menyelesaikan tugas sekolah dengan segenap kemampuan yang mereka miliki. Sementara itu, malam semakin larut. Dari jendela, langit di luar terlihat hitam, tapi lampu-lampu di penjuru kota semakin bertambah terang. Menggambarkan kehidupan kota yang tak mati walau di malam hari.
Satu-satunya jam dindind di kamar itu yang ditempel di dinding tepat di atas sebuah layar digital yang memenuhi hampir seluruh dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
“Ayo!! Semangat! Semangat!!”seru Angga. “Waktu kita hampir habis.”
“Pikiranku butuh refreshing, nih,” eluh Sarah. “Pergi ke Warung Remaja sekarang, yuk?”
“Nggak bisa begitu. Kita harus tetap poada kesepakatan kita,” balas Angga. “Selesaiakan tugas, baru kemudian pergi,” tegasnya.
Satu jam kemudian.
“Huh,” eluh Yordan merebahkan badan ke lantai.
“Ayolah, kita sudahi saja,” pinta Sarah. “Pikiranku sudah hampir meledak. Lihat, sudah pukul setengah dua belas, kapan kita ke Warung Remaja?”
“Iya, nih,” Angga ikut-ikutan. “Kita pergi sekarang saja, gimana?”
Taman-tamannya mengangguk, kecuali Panji yang masih serius.
“Gimana, Ji?”
“Sedikit lagi selesai. Tanggung kalau berhenti sekarang.”
Annga memberi isyarat kepada Sinta untuk membujuk Panji.
“Say, sudah larut, nih. Kapan perginya?” rayu Sinta. “Lagi pula, sisanya bisa dikerjakan besok di sekolah. Pasti ada teman-tamn yang ngerjain.”
Panji berhenti membaca buku. Sekilas menatap wajah kekasihnya. Memejamkan mata, menjernihkan pikirannya sejenak. “Baiklah!” serunya singkat.
“Yessss!!!” teriak Yordang penuh semangat. Bangkit.
“Ayo, siapkan diri kalian untuk aksi sesungguhnya!!” Angga ikut-ikutan teriak. Dibalas penuh gairah oleh teman-temannya.
Sejurus kemudian, mereka telah berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan suara musik. Puluhan orang menari-nari di bawah kerlap-kerlip lampu diskotik. Malam yang larut membawa hati semakin hanyut. Seteguk demi seteguk minuman beralkohol menghangatkan tubuh, membuai pikiran yang lusuh.
“Dan!!” seru Panji.
Yordan masih asyik menari, tak menghiraukan panggilan Panji yang tenggelam dalam alunan musik. Panji mendekati Yordan. Menyusuri kerumunan. Ia memukul pundak Yordan. “Teman-teman yang lain, mana??!”
Yordan hanya mengangkat bahu, lalu menari lagi.
Dengan sedikit keras, Panji menarik tubuh temannya. “Ayo, kita cari mereka!”
Tak butuh waktu lama, Panji menemukan teman-temannya. “Mana Sinta?!” tanyanya menyadari Sinta tidak bersama mereka.
Sarah menunjuk ke arah kursi di samping bartender, tepatnya ke arah gadis yang sedang duduk sendiri di sana, Sinta. Segera panji melangkahkan kai ke sana. Baru setapak ia melangkah, tangannya ditahan oleh Sarah.
“Menari denganku, yuk?” ajak Sarah.
Ia segera membuang tangan Sarah. Terus berjalan, meninggalkan Sarah yang terlihat kesal.
“Cukup, Sin!” tangannya menahan gelas di tangan Sinta. Kemudian memapah tubuh kekasihnya di pundak. Ia memberi isyarat kepada teman lain untuk pulang.
Suasana ruangan yang berisik, membuat mereka tidak menyadari bahwa hujan deras telah turun sejak lama. Mereka hanya berdiri di depan pintu, memandang ke arah tempat parkir yang tertutup kabut hujan. Sementara, Sinta terus-terusan mengigau karena mabuk berat.
“Salah satu ambil mobil, cepat!” perintah Panji sedikit kesal.
“Apa??!!1” seru Yordan. “Apa kamu nggak lihat hujan deras ini?”
“Iya, kita balik ke dalam saja,” ujar Sarah.
“GILA!! “ seru Panji. “Lihat kondisi Sinta. Apa kalisn tidak lihat? Cepat! Ambil mobil!”
“Haiiiiiiiiii… hk..hk..hk.. Kenapa panik seperti itu? Aku tidak apa-apa. Hk…hk.. Sama hujan saja takut. Heeh, hujan itu tangisan alam. Tangisan hewan. Tangisan manusia. Tangisan kita he..heeee…heeeee,” igau Sinta.
Panji tampak kesulitan menopanh tubuh Sinta yang berpolah aneh. “Ambil mobil, sana! Jangan bengong saja.”
Malam yang telah larut membuat mereka tidak bisa melewati jalan yang sama, yang mereka lewati saat bernagkat. Sebab, bila telah lewat tengah malam, jalan di sekitar pertokoan ditutup untuk semua jenis kendaraan. Begitu juga jalan di sekitar kawasan industri. Entah untuk tujuan apa. Mereka terpaksa menempuh jalur yang memerlukan waktu lebih lama.
“Lihat!!!!!” seru Sinta mengagetkan semua yang ada di mobil. Tangannya menunjuk ke arah bangnan tinggi dengan nyala lampu terang di puncaknya. Itu lah Aras, tempat Sang pahlawan tinggal.
“Dasar orang mabuk,” gerutu Sarah di bangku depan.
“Siapa yang mabuk, hah?” ucap Sinta. “ Aku nggak mabuk, iya kan, Say?” suaranya merendah melemparkan pertanyaan ke arah Panji. Hanya dibalas anggukan. “Mau Bukti!!” serunya lagi. “Ha…haaa…haaaa…,” ia tertawa melihat muka teman-temannya yang kaget. “Kamu pasti nggak tahu, di mana Tuhan berada? Hk….hk…hk… Seperti kata guru kita, Tuhan berada di tempat yang tinggi. Di sana, di tempat itu. Heeee…heeeee.heeeeee.” Tangannya kembali menunjuk ke arah Aras.
“Orang kagak waras,” ucap Sarah bergidig.
***

Beberapa hari kemudian, di siang hari yang terik, sejak pulang sekolah sepermpat jam yang lalu Panji belum beranjak dari kamarnya. Yah, udara siang itu memang seakan-akan tidak mendukung manusia untuk berkatifitas di luar rumah. Udara kering. Membuat semua orang mengantuk. Padahal, setiap malam hujan selalu turun deras. Entah apa yang aneh pada kota Golden Water.
Tiba-tiba terdengar tanda dari laptopnya memberitahu bahwa ada temannya yang sedang online. Beberapa saat kemudian disusul tanda lain beberapa kali, ada pesan masuk. Dengan malas, dijulurkan tangannya meraih laptop di meja. Ada pesan dari Sinta:
Angel: ”Say, kata Angga, ada banyak orang berkumpul di depan Aras
Sampai ribuan
Coba kamu datang ke sana. Cari informasi
Berita tentang Aras pasti akan membuat Mading kelas kita bagus.
OK!

Dengan wajah lusuh dan tubuh acak-acakan, ia keluar rumah. Menginjak pedal gas mobil dalam-dalam. Ia tiba di depan Aras bersama Sinta yang ikut karena ia paksa.
Benar apa yang dikatakan Angga, ribuan orang berkumpul di depan Aras.
“Mau kemana?” tanya Sinta melihat Panji mencoba masuk ke kerumunan orang.
“Bukankah kita ke sini mau mencari berita?”
“Tapi, di sana berbahaya.” Meskipun taku, Sinta mengikuti Panji, menggenggam erat tangan kekasihnya.
“Lari! Lari!!!” seru beberapa orang di depan.
Spontan, kerumunan massa mulai bergerak keluar halaman Aras.
“Petugas memaksa kita keluar!!” teriak yang lain.
“Kalau tidak ingin mati, cepat lari!!” teriak yang lain lagi.
“Say, ayo kita balik!” seru Sinta ketakutan.
Tapi, sebagai remaja yang diselimuti rasa penasaran membuat Panji terus bergerak maju, melawan massa.
“Say!!” Sinta menampik tangan Panji. “Kamu sudah gila!!”
“Kalau kamu tidak mau bersamaku, silakan ikut berlari dengan orang-orang.”
“Bukankah kamu yang memaksa aku untuk ikut. Sekarang kamu membiarkan aku. Pokoknya kamu harus mengatarkan aku pulang,” suara Sinta mulai gemetar tanpa menghiraukan tekanan yang datang dari setiap sisi.
“Terserah kamu!!” balas Panji. Ia tak memperdulikan Sinta. Terus berusaha maju. Namun, tangannya tertahan oleh Sinta.
“Ji!”
Seketika, Panji menatap wajah Sinta. Ia mendapati wajah kekasihnya mulai nasah oleh air mata. Mata lentik Sinta berkaca-kaca, terlihat jelas di bawah sinar matahari. Panji tertegun.
“Aku khawatir dengan keadaanmu. Kau dengan teriakan orang tadi,” suara Sinta tersedu-sedu. “Aku tidak ingin kamu terluka. Apa lagi kalau sampai kamu tiada.”
Hati panji yang keras, luluh oleh linangan air mata Sinta. Tangannya menyeka tetes demi tetes air di pipi kekasihnya. Mereka berdua tak peduli pada keributan yang semakin menjadi.
Dalam kondisi masih menangis, Sinta berujar,” Aku sayang kamu.” Merebahkan diri ke pelukan Panji. “Aku cinta kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu,” ucapnya manja.
Satu kecupan Panji mendarat di kening Sinta. “Maafkan aku,”tanagn Panji mengusap rambut Sinta yang terurai sebahu.
Di kedua bibir Sinta merkah senyum indah.
“Ayo, kita pergi! Untuk apa berada di tempat sera mini!” seru Panji sembari melangkah menjauhi Aras.
“Sang Pahlawan telah mati!”
“Sang Pemberi telah mati!!”
“Sang Pemurah telah tiada!!”
Teriakan itu menemani langkah mereka berdua.
***

Panji terdiam di sofa depan. Matanya memandang jauh menembus langit malam yang hitam. Pikirannya masih di selimuti rasa penasaran atas peristiwa tadi siang. Apa sebenarnya yang terjadi? pikirnya. Rasa penasaran itu membuat melangkahkan kakinya ke bagasi mobil. Tidak peduli pada mitos yang tersebar. Malam ini, malam Jum’at Kliwon. Dengan purnama yang bersinar cerah. Malam paling seram dalam mitos kota itu.
Tak berapa lama, ia telah tiba di depan Aras. Segera ia memarkirkan mobilnya di tempat sepi. Matanya memandang nanar di puncak gedung tinggi yang bisanya terang oleh cahaya lampu, tapi tidak untuk kali ini. Kondisinya gelap gulita, tanpa penjaga.
Dengan sedikit keahliannya, ia mampu masuk ke gedung utama. Tanpa pikir panjang, ia menaiki anak tangga satu demi satu. Dengan nafas terengah-engah, ia membuka ruang utama tempat Sang Pemberi berada. Tidak seperti yang dikatakan orang tadi siang, pintu itu tidak terkunci. Perlahan ia mendekati sebuah meja yang tersinari cahaya rembulan. Matanya tertuju pada secarik lipatan kertas yang tergeletak. Kali ini ia menata nafasnya terlibih dahulu, mencoba mengubur rasa takut, khawatir dan gelisah, mengumpulkan keberanian untuk membukanya. Ternyata pesan dari Sang Pahlawan.
***

Hai, anak muda!
Seketika tubuhnya merinding. Seakan-akan surat itu bersuara. Yah, terdengar jelas suarnya. Menancapa dalam di dinding-dinding hatinya. Namun, ia tetap melanjutkan membaca tulisan yang ada di sana.
Mungkin kamu mengira aku sudah mati. Atau, kamu mendengar orang-orang meneriakkan kata-kata bahwa aku telah mati. Sebab, aku sudah tidak lagi membagi-bagikan rezeki. Tak lagi memcukupi kebutuhan kalian yang tak tercukupi.
Salah!! Itu prasangka yang sangat keliru. Aku tak mau kamu, wahai pemuda, terjerumus dalam hal-hal semacam itu. Ketahuilah! Aku tidak mati. Aku hanya pergi. Yah, hanya pergi.
Panji berusaha meyakinkan dirinya bahwa bukan surat itu yang mengeluarkan suara, tapi kata-kata itu terdengar jelas di telunga. Tapi, kenapa ia pergi?
Lihat ke sebelah kanan.
Panji pun menoleh ke arah kanan, berjalan mendekati jendela. Dari sana, ia dapat melihat cahaya pulan purnama yang sempurna menyinari gedung-gedung megah kotanya. Bagai kota yang terbuat dari emas. Kilau cahayanya ada di mana-mana.
Tahukah kamu, bagaimana keadaannya dulu???
Kini, cobalah pandang sebelah kiri
Panji menuju sisi lain ruangan itu. Dari jendela di sana, ia dapat melihat cahaya lampu terpancar tinggi menembus langit di malam sunyi. Ia kenal dengan tempat itu. Yah, Warung Remaja tempat ia selalu menghabiskan masa-masa bersama teman-temannya.
Tahukah kamu keadaannya dulu???
Kini, aku pergi. Tak peduli lagi akan apa yang terjadi dengan kota ini.
Di bagian bawah pesan itu tertulis beberapa coretan. Ia tahu itu pesan dalam bahasa Arab, tapi huruf-huruf itu terlalu asing baginya. Terlalu sulit untuk memahami.

Tidak ada komentar: