Rabu, 25 Agustus 2010

Ketika Sunda Hanya Dijadikan Wacana

Salah satu hikmah dari jatuhnya rezim Suharto, adalah semakin menggeliatnya sebagian “orang” Sunda untuk turut aktif di dalam kegiatan-kegiatan “kasundaan”. Orang-orang yang pada zaman Suharto, tidak pernah terdengar percaturannya dalam “kasundaan”, sekarang ini banyak yang muncul di permukaan. Kegiatan seminar, diskusi bertema “kasundaan” marak dilaksanakan dengan berbagai tema, seperti budaya, eknomi, sejarah, politik dsb. Memang ada olok-olok bagi mereka-mereka yang tadinya tidak pernah nongol di kegiatan “kasundaan”, tapi sekarang ini tiba-tiba ikut sibuk, dengan menyebutnya sebagai mualaf Sunda. Lebihnya dari itu, ada pula yang mempertanyakan motivasinya. Namun demikian, olok-olok atau suara miring semacam itu sebaiknya tidak perlu didengar, karena hal itu bisa dipandang sebagai penyakit lama atau budaya negatif orang Sunda — yang jelas-jelas kontra produktif dan bahkan dapat menyebabkan ki Sunda lebih terpuruk. Selama orang Sunda tidak pernah mau berfikir positif terhadap sesama orang Sunda, maka jangan harap ki Sunda dapat “nanjeur makalangan”. Semakin banyaknya orang yang “mikiran kasundaan”, seharusnya ditanggapi sebagai sesuatu yang menggembirakan.
Apabila perhatian orang-orang untuk menyemarakkan “kasundaan” tidak perlu dipersoalankan lagi, maka hal yang justru perlu pandangan kritis adalah “substansi” dari kesemarakan tersebut. Dari berbagai pertemuan, diskusi, seminar atau “wangkongan” yang pernah dilakukan, kesan yang muncul baru terbatas kepada “euforia”, atau kalaupun masuk ke dalam hal yang substantif, wacana yang berkembang tetap berkisar kepada nostalgia, keluh kesah, harapan dan rekomendasi. Bagi suatu masyarakat yang sudah “terbelenggu” lama, kondisi semacam ini pada tahapan awal bisa dianggap wajar, namun dari sisi waktu, akan sampai kapan nostalgia, keluh kesah dan harapan itu akan terus diwacanakan? Dengan meminjam istilah Clifford Geertz, mungkin cukup tepat apabila kondisi ki Sunda dengan segala hiruk pikuknya saat ini disebut sebagai “involusi”. Tenaga, dana dan omongan sudah banyak keluar, namun hasilnya tetap jalan di tempat.
Sebagai contoh, untuk bidang politik hampir di setiap “gempungan” terlontar bahwa dari seluruh anggota DPRD Jawa Barat, hanya 38 % (?) saja orang Sunda “pituin”. Hal yang sama terjadi di dalam bidang perpolitikan nasional. Sebagai masyarakat dengan jumlah nomor dua terbesar, posisi politik orang Sunda di tingkat nasional hanyalah nomor 7 atau nomor 8 (?). Tidak ada satu Parpol pun yang dipimpin oleh orang Sunda, bahkan jangankan menjadi ketua umum, yang duduk di jajaran terasnya pun relatif minim. Wacana selanjutnya lebih berkembang lagi. Kalaulah orang Sunda “pituin” itu, mengisi posisi penting, apakah dengan serta merta mereka akan mempunyai tanggung jawab atau rasa “katineung” terhadap kasundaan?. Dengan mengambil contoh eksekutif yang hampir 100 % orang Sunda pituin, apakah “kasundaan” sudah tersentuh sesuai dengan yang diharapkan?.
Data semacam ini sudah cukup lama diketahui atau paling tidak sudah tiga tahun ini diwacanakan. Kalaulah DPRD dan Parpol dianggap strategis untuk berkontribusi terhadap “kasundaan”, langkah-langkah kongkrit apakah yang sudah dilakukan untuk “merebut” posisi-posisi tersebut ?.
Fenomena terpuruknya orang Sunda di dalam percaturan politik ini seharusnya diteliti secara lebih mendalam. Apakah karena enggan bermain politik ? kalah kualitas atau karena faktor lain ? Kalau karena enggan bermain politik atau kalah kualitas, maka orang Sunda tidak boleh menyalahkan orang lain. Langkah yang harus dilakukan adalah meningkatkan kesadaran orang Sunda bahwa memegang peran di dunia perpolitikan itu sangat penting bagi kelanjutan “kasundaan” dan setelah itu, orang Sunda nya sendiri harus mengkaderkan putra-putri terbaiknya (dengan pengetahuan dan semangat “kasundaan”) agar bisa mengisi peran-peran strategis tersebut. Secara ideologis, dewasa ini tidak ada satu parpol pun yang punya kaitan langsung dengan “kasundaan”. Dalam tataran ini, bukan mustahil bahwa Sunda hanya dilihat sebagai sekumpulan orang-orang calon pemilih.
Apabila “lajuning laku” ini tidak cepat dilakukan, maka orang Sunda akan lebih jauh tertinggal. Pemilu yang akan datang tinggal tiga tahun lagi. Sebenarnya kurang cukup waktu untuk mempersiapkan kader dalam jangka waktu tiga tahun tersebut. Akan tetapi dibanding tidak melakukan apa-apa sama sekali, seharusnya langkah kongkrit harus segera dibuat dan dilaksanakan (kecuali apabila pada tahun 2005 nanti kita akan siap-siap mengeluh bahwa anggota DPRD Jabar yang orang Sunda pituin lebih sedikit lagi dari yang ada sekarang!).
Salah satu faktor yang mungkin jadi “kegejed” orang Sunda di dalam membuat lajuning laku ini adalah adanya kegamangan untuk mendefinisikan ruang lingkup “kasundaan” itu sendiri. Di dalam bidang bahasa misalnya, terkadang terjadi kelucuan. Gembar-gembor tentang nyaris punahnya bahasa Sunda didiskusikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Apa yang dikemukakan seorang pelajar SLTA kepada kang Ayip Rosidi ketika KIBS patut dijadikan renungan. Menurut sang anak SLTA tersebut, kang Ayip sendiri sesungguhnya sedang merusak bahasa Sunda; karena “madungdengkeun” bahasa Sunda dengan makalah dan bahasa pengantar bukan bahasa Sunda. Hal yang sama terlihat ketika ada seminar Sosialisasi Perda No.6 /1996 yang diselenggarakan oleh LBSS di Aula Unpad tahun 2000 yang lalu. Hampir semua pembicara dan makalah menggunakan bahasa Indonesia; padahal yang dibicarakan adalah keberlanjutan bahasa Sunda. Membicarakan bahasa Sunda dengan tidak menggunakan bahasa Sunda lagi, berarti hanya menempatkan bahasa Sunda sebagai ilmu untuk dijadikan bahan diskusi, penelitian dsb. Orang Sunda sebenarnya punya “babasan” yang berbunyi “pindah cai - pindah tampian”. Artinya, kalau di dalam “riungan” itu yang hadirnya kebanyakan orang Sunda dan yang dibicarakannya tentang “kasundaan”, maka sebaiknya (seharusnya?) bahasa pengantarnyapun bahasa Sunda. Akan tetapi, apabila “kasundaan” itu dibicarakan di dalam konteks ilmu, maka pengantarnya bisa saja menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing (Kalaulah tulisan ini tidak menggunakan bahasa Sunda, karena media yang tersedia untuk menyampaikan gagasan yang dapat dibaca banyak halayak, menggunakan bahasa Indonesia).
Alhamdulillah di dalam Kongres Basa Sunda yang dilaksanakan di Garut baru-baru ini, penggunaan basa pengantar dan makalah sudah lebih menekankan kepada bahasa Sunda. Hal lain yang bisa diamati, adalah banyaknya tokoh-tokoh yang selama ini secara retoris selalu “berjuang” untuk menghidup-kembangkan bahasa Sunda, namun di dalam keluarganya tidak lagi menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar. Hal yang sama mungkin terjadi di kalangan anggota DPRD yang notabene menghasilkan Perda Nomor 6 /1996.
Contoh yang lain dapat terlihat pada kesenian Sunda. Di kota Bandung misalnya, ada gejala bahwa kedudukan kesenian sunda (oleh sebagian pelakunya) sudah tidak ada bedanya dengan kesenian lain. Apakah aneh atau mungkin tidak aneh, apabila seorang “panembang” yang orang sunda “pituin”, bahasa pengantar sehari-hari di keluarganya justru menggunakan bahasa Indonesia?. Bagi mereka, belajar atau melantunkan tembang sunda, mungkin sudah dianggap tidak ada bedanya dengan belajar atau melantunkan lagu-lagu barat.
Apa yang dicontohkan tentang bahasa dan kesenian Sunda ini bisa menjadi gambaran tentang “kegamangan” di dalam mendefinisikan “kasundaan” tadi. Ada kesan apabila sudah membicarakan hal-hal yang “berbau” Sunda maka dianggap sudah berjuang untuk Sunda.
Prof. Dr. Edi S. Ekadjati mendefinisikan orang Sunda ini dengan tiga kriteria. Pertama, orang yang mengaku dirinya orang Sunda dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda; kedua, orang yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang kedua-duanya atau salah satu diantaranya orang Sunda; dan ke tiga, adalah orang atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Definisi ini sebenarnya cukup jelas, namun untuk mengoperasionalisasikannya masih ada yang terasa abstrak, terutama untuk norma-norma dan nilai budaya Sunda. Dengan mengacu kepada definisi Prof. Dr. Edi S Ekadjati ini, diketahui bahwa inti persoalan dari “kasundaan” ini, sebenarnya tidak terletak pada kriteria pengakuan atau faktor genetis; namun pada budaya (kriteria ke tiga). Dalam pengertian, walaupun seseorang mengaku sebagai orang Sunda dan secara genetis Sunda, namun di dalam “prilaku” budayanya tidak mengacu dan mempergunakan budaya Sunda. Ada dua hal yang perlu dicermati untuk melihat phenomena ini. Pertama, kesulitan untuk mendefiniskan norma-norma dan nilai budaya Sunda dan ke dua adalah persepsi dari orang Sunda nya sendiri terhadap budaya Sunda tersebut. Dari sisi budaya, sudah saatnya orang Sunda membuat batasan yang jelas dalam bentuk budaya minimal apa yang harus dimiliki oleh orang Sunda sehingga bisa disebut orang Sunda.
Kesepakatan membuat batasan budaya Sunda minimal ini penting, agar “lajuning laku” difahami secara bersama-sama, jelas koridornya dan jelas tujuan yang hendak dicapainya. Contoh adanya perbedaan pandangan tentang batasan budaya Sunda ini dapat terlihat dari tulisan bung Hawe Setiawan (2001) yang dengan segala argumentasinya menyatakan bahwa dewasa ini (pen) ada hantu yang bergentayangan di tatar Sunda, yaitu hantu purisme kesundaan. Selanjutnya Hawe Setiawan mengemukakan pula ” Purisme kesundaan, hantu yang terus bergentayangan itu, agaknya merupakan semacam tanda bahaya terenggutnya kemampuan adaptif seperti itu dari diri kita, para pecinta budaya Sunda. Halaulah ia, sebelum kita binasa karena kegelapan yang dibawanya”. Pandangan lain mengemuka dari Kang Soedradjat Tisnamihardja, yang konon mencontoh Malaysia (?). Menurut kang Adjat, bagi orang Malaysia, ciri kemelayuan itu cukup dengan memakai baju koko dan kopiah; sedangkan bahasa, pola fikir dan berprilaku, menjadi seperti orang Barat sekalipun tidak apa-apa.
Akan halnya pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai budaya Sunda ini, tentu lebih variatif dan acak. Bagi mereka yang sudah tidak mau lagi menggunakan nilai-nilai “kasundaan”, atau minimalnya sudah tidak lagi menggunakan bahasa Sunda di keluarga, tentu memiliki argumentasinya sendiri-sendiri. Mereka mungkin berpendapat bahwa tidak berbudaya Sunda pun tidak apa-apa, karena “kasundaan” dianggap tidak memberikan keuntungan atau nilai tambah apapun.
Hal lain yang perlu diingat, bahwa “kasundaan” itu, bukan hanya terbatas kepada budaya, tetapi juga teritorial dan manusia-manusianya. Di dalam konteks ini, rusaknya lingkungan hidup di tatar Sunda atau semrawutnya suatu kota/wilayah bisa dipandang sebagai tidak adanya rasa tanggung jawab “kasundaan” di dalam diri para pengelolanya. Secara idealis, apabila para penentu kebijakan mempunyai rasa tanggung jawab “kasundaan”, maka sebelum memutuskan kebijakannya, akan senantiasa mempertimbangkan, apakah akan merugikan budaya, lingkungan fisik dan orang Sunda atau tidak?
Dengan melihat bahwa orang-orang yang suka “icikibung” di dalam “kasundaan” itu relatif sedikit (mungkin tidak lebih dari 500 orang dari sekitar 30 juta orang Sunda), maka tugas pertama yang harus dilakukan adalah mengapresiasikan “kasundaan” ini kepada seluruh halayak orang Sunda, sehingga akan semakin banyak lagi orang Sunda yang “engeuh” terhadap persoalan-persoalan “kasundaan”. Kegiatan-kegiatan seminar yang hanya akan menghasilkan rekomendasi (yang isinya hampir itu-itu juga) sudah tidak perlu dilakukan lagi. Kalaupun tersedia dana, maka dana tersebut bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih kongkrit seperti kursus-kursus kebudayaan Sunda, menambah frekuensi siaran kesenian Sunda di TVRI dan RRI membuat penerbitan berbahasa Sunda secara cuma-cuma dsb.
Khusus untuk kursus budaya Sunda, kegiatan ini dipandang sebagai sarana strategis yang mendesak untuk segera dilaksanakan. Kursus ini secara umum mencakup budaya Sunda, basa Sunda, sejarah Sunda, makna “kasundaan” bagi kehidupan sehari-hari, persoalan-persoalan ki Sunda (budaya, lingkungan fisik dan manusianya) dsb. Sasaran peserta kursus terutama para anggota partai politik, pejabat pemerintahan, guru, organisasi kepemudaan, wartawan, lingkung seni sunda di perguruan tinggi, para mubaligh dan masyarakat umum. Dari kursus semacam ini, diharapkan jumlah orang yang “engeuh” dan mempunyai tanggung jawab terhadap “kasundaan”, akan semakin banyak dan menyebar di semua lapisan masyarakat. Kita tidak bisa berharap sesuatu kepada orang lain, tanpa pernah memberikan “perlakuan” (baca: apresiasi) terhadap orang lain tersebut. Dalam situasi otonomi daerah, dimana sebagaian besar kewenangan berada di kabupaten/kota, maka kursus-kursus dan apresiasi kebudayaan Sunda ini perlu pula dilaksanakan di daerah-daerah.
Untuk acara di TVRI/RRI selain menambah frekuensi acara-acara kesenian dan kebudayaan, perlu kiranya dibuat program keteladanan dari para pejabat, ilmuwan, tokoh masyarakat, celebritis, dsb., dalam berbahasa dan berbudaya Sunda.
Mungkin ada pertanyaan, darimana sumber dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut ?. Kalaulah selama ini dana untuk seminar-seminar, loka karya dsb., bisa diadakan, maka dana untuk kegiatan-kegiatan yang lebih kongkrit ini, sudah barang tentu bisa pula diupayakan.
Apabila disensus, akan banyak lagi kegiatan-kegiatan praktis tanpa biaya yang bisa dilakukan untuk ki Sunda, misalnya dengan memulai berbicara bahasa Sunda di lingkungan keluarga, kantor dsb. Dibandingkan dengan membuat rekomendasi (bagi orang lain) atau berwacana terus menerus, membuat langkah-langkah kecil tetapi kongkrit, maknanya akan jauh lebih besar bagi ki Sunda.

Arsitektur Imah Sunda

BUBUKA
Upama urang miang ka Bali, Toraja, Minangkabau, Batak atawa Irian, kalawan gampang urang bisa ningal imah atawa wangunan anu has daerahna. Malah hal ieu jadi ciri mandiri (trade mark) pikeun daerahna masing-masing. Bangsa asing nu datang ka Indonesia, kacida katajina ku rupa-rupana arsitektur imah nu aya di Indonesia.
Naha ari Tatar Sunda mibanda arsitektur imah?
Tangtu aya jeung miboga wangun imah anu ngabogaan ciri khas Tatar Sunda, saupamana wae ti mimiti imah anu pangsaderhanana tepi ka anu cukup rumit nyieunna. Conto wangunan moderen anu dasar arsitekturna ngagunakeun arsitektur Sunda pangpangna wangun suhunanana, di antarana suhunan Kampus ITB jeun sabagian suhunan Gedong Sate. Wangunan Pendopo Kabupaten Bandung jeung sababaraha Wangunan Pendopo anu aya di Tatar Sunda mah ilaharna ngagunakeun suhunan anu ngajadi ciri Wangunan Arsitektur Imah Sunda.
SAWATARA TEMPAT ANU MASIH KENEH AYA IMAH ARSITEKTUR SUNDA
Upama dipapay leuwih jauh conto arsitektur nu asli Sunda tur dina wangunan nu masih keneh saderhana, nya eta wangunan imah di:

- Baduy (Banten Kidul)

- Kampung Naga (Tasikmalaya)

- Kampung Pulo (Garut)

- Kampung Genereh (Sumedang)

- Kampung Palasah (Majalengka)

- Kampung Gabus (Cirebon)
Di Baduy, Kampung Naga jeung Kampung Pulo, beunang disebutkeun wangunan imah-imahna masih keneh asli tradisional. Tapi di Kampung Genereh, Palasah jeung Gabus mah, ngan kari hiji-dua bae, kitu oge kaayanana geus loba anu ruksakna.
CIRI-CIRI JEUNG FUNGSI ARSITEKTUR IMAH SUNDA TRADISIONAL
Nurutkeun panalungtikan tim ahli anu dijejeran ku Prof. Dr. Kusnaka Adimiharja, Spk, gawe bareng jeung Kanwil Pariwisata Propinsi Jawa Barat, ciri-ciri jeung fungsi imah Sunda teh bisa disawang tina:

- Aspek Sosial Budaya jeung Arsitektur

- Ciri Wangunan anu Has
Kateranganana upama dipedar leuwih jelas mah kieu:
Aspek Sosial Budaya jeung Arsitektur

Keur urang Sunda, imah teh lain ngan ukur pikeun tempat cicing, atawa tempat istirahat wungkul, tapi oge boga harti anu leuwih lega, nyakup sosial, ekonomis jeung jadi puseur atikan budaya kaasup pendidikan moral, sarta dianggap suci (sakral). Nya di jero imah pisan tumuwuhna hubungan sosial (sosialisasi) anggota kulawarga. Di imah pisan tempat migawe hal-hal nu sipatna ekonomis (home industri). Di imah pisan hal-hal nu tumali jeung atikan kabudayaan ku indung-bapa diajarkeunana ka anak-anakna. Kitu deui imah teh dianggap suci (sakral), disaruakeun jeung alam mikro (bumi sok disebut imah), nu dianggap miniaturna tina makro (dunya = anu oge disebut bumi). Jadi bumi (imah) teh dianggap sarua jeung bumi (dunya).
Eta sababna upama hiji imah dipake hal-hal nu teu hade atawa dipake hal-hal anu kotor, bakal dianggap ngaruksak kasakralan imah, imahna jadi “sial”. Ceuk urang Sunda mah imah teh mangrupa tempat anu suci nu kudu dijaga kasucianana.
Ciri Wangunan anu Has

Ciri has imah Sunda nyaeta panggung (aya kolongna). Bedana jeung imah panggung seler bangsa sejen (Batak, Dayak, Minangkabau), nyaeta luhurna kolong imah Sunda mah henteu pati luhur (40-60cm), siga kolong imah urang Jepang. Upama aya imah di Tatar Sunda anu lain panggung, tapi ngupuk saperti di daerah Tatar Kaler eta mah pangaruh Budaya Jawa. Hateupna (suhunan) imah di Tatar Sunda rupa-rupa aya Julang Ngapak, Jogo Anjing, Heuay Badak, Jure Limasan jeung Leang-Leang. Di antara nu disebutan bieu anu has Sunda mah nyaeta nu disebut suhunan Julang Ngapak (Sulah Nyanda, Julang Wirangga), ari nu sejenna mah kapangaruhan ku kabudayaan batur (suhunan Leang-Leang kapangaruhan ku Arsitektur Cina, Limasan pangaruh Jawa).
Ciri sejenna nya eta ayana capit hurang (cagak gunting), nyaeta babagian tungtung hateup (suhunan) anu dirupakeun cagak atawa bisa oge saperti tanduk munding, malah aya anu dibuleudkeun (lingkaran), biasana tina kai, atawa awi anu dibulen ku injuk. Gunana cagak gunting diantarana pikeun nyegah cai hujan bocor ka jero imah, jadi saperti fungsina talang. Jaba ti eta cagak gunting teh dianggap oge ngandung tanaga gaib pikeun nyegah pangaruh negatip.
Ari wangun (bentuk) imah, biasana pasagi panjang. Latena make palupuh awi, bilikna tina awi dianyam atawa ku sasag. Rangkay imah dijieunna tina kai. Make tatapakan tina batu. Rohangan imah dibagi nurutkeun babagian anu husus. Nyaeta bagian hareup tepas (emper) pikeun ngumpulna semah lalaki. Enggon (kamar sare) jeung bagean dapur (hawu jeung padaringan gudang tempat neundeun beas = pabeasan), bagean tukang ieu mah pikeun awewe. Pangpangna padaringan (goah, pabeasan) kacida dilarangna lalaki asup ka daerah eta.
PANUTUP
Konsep Arsitektur imah Sunda nu mibanda konsep dasar nu filosofis, kacida hadena upama bisa ditransformasikeun kana arsitektur imah nu moderen, nu luyu jeung kapribadian bangsa. Tangtu bae kudu diluyukeun jeung kamajuan teknologi bari henteu lesot tina pandangan hirup jeung filsafah kabudayaan Sunda. Saenyana henteu ngan dina arsitektur bae ayana falsafah Sunda teh tapi oge dina aspek-aspek budaya sejenna, upamana bae dina seni Cianjuran, Tari, Penca, Tata Boga (kadaharan), Tata Busana, jeung dina rupa rupa seni budaya sejenna. Urang sarerea, pangpangna para nonoman kudu leukeun neangan pribadi falsafah karuhun urang, sangkan bisa katransformasikeun dina kahirupan moderen. Muga bae pareng kawujudkeun.
(LISDA - sumber diambil dari berbagai literature)

Selasa, 24 Agustus 2010

Tujuh Welas Pupuh

Kanggo nyusun rumpaka pupuh, kedah ditarekahan supados luyu sareng jiwa pupuh nu tujuh welas nya eta:

  1. Asmarandana, ngagambarkeun rasa kabirahian, deudeuh asih, nyaah.
  2. Balakbak, ngagambarkeun heureuy atawa banyol.
  3. Dangdanggula, ngagambarkeun katengtreman, kawaasan, kaagungan, jeung kagumnbiraan.
  4. Durma, ngagambarkeun rasa ambek, gede hate, atawa sumanget.
  5. Gambuh, ngagambarkeun kasedih, kasusah, atawa kanyeri.
  6. Gurisa, ngagambarkeun jelema nu ngalamun atawa malaweung.
  7. Juru Demung, ngagambarkeun nu bingung, susah ku pilakueun.
  8. Kinanti, ngagambarkeun nu keur kesel nungguan, deudeupeun, atawa kanyaah.
  9. Ladrang, ngagambarkeun nu resep banyol bari nyindiran.
  10. Lambang, ngagambarkeun nu resep banyol tapi banyol nu aya pikiraneunana.
  11. Magatru, ngagambarkeun nu sedih, handeueul ku kalakuan sorangan, mapatahan.
  12. Maskumambang, ngagambarkeun kanalangsaan, sedih bari genes hate.
  13. Mijil, ngagambarkeun kasedih tapi bari gede harepan.
  14. Pangkur, ngagambarkeun rasa ambek nu kapegung, nyanghareupan tugas nu beurat.
  15. Pucung, ngagambarkeun rasa ambek ka diri sorangan, atawa keuheul kulantaran teu panuju hate.
  16. Wirangrong, ngagambarkeun nu kawiwirangan, era ku polah sorangan.
  17. Sinom, ngagambarkeun kagumbiraan, kadeudeuh.

  1. PUPUH ASMARANDANA

    (Ngagambarkeun rasa deudeuh, asih, nyaah, birahi) PIWURUK SEPUH

    Ngariung di tengah bumi,

    pun biang sareng pun bapa,

    jisim abdi diuk mando,

    husu ngupingkeun pituah,

    piwejang ti anjeunna,

    pituduh laku rahayu,

    piwejang sangkan waluya.
  2. PUPUH BALAKBAK

    (Ngagambarkeun heureuy atawa banyol) DAYEUH BANDUNG

    Dayeuh Bandung kiwari teuing ku rame-araheng,

    gedong-gedong pajangkung-jangkung wangunna-alagreng,

    tutumpakan-tutumpakan balawiri lalar liwat-garandeng.
  3. PUPUH DANGDANGGULA

    (Ngagambarkeun katengtreman, kawaasan, kaagungan, kagumbiraan) MILANG KALA

    Dinten ieu estu bingah ati,

    ku jalaran panceg milang kala,

    kenging kurnia ti Alloh,

    rehing nambahan taun,

    tepung taun umur sim abdi,

    henteu weleh neneda,

    ka Gusti Nu Agung,

    malar umur teh mangpaat,

    tebih bahla turta pinarinan rijki,

    sumujud ka Pangeran.
  4. PUPUH DURMA

    (Ngagambarkeun rasa ambek, gede hate, sumanget) LEMAH CAI

    Nagri urang katelah Indonesia,

    diriksa tur dijaring,

    sumirat komarana,

    berkahna Pancasila,

    ageman eusining nagri,

    yu sauyunan,

    ngawangun lemah cai.
  5. PUPUH GAMBUH

    (Ngagambarkeun kasedih, kasusah, kanyeri) KADUHUNG

    Kaduhung sagede gunung,

    kuring sakola teu jucung,

    lalawora resep ulin,

    hanjakal tara ti heula,

    ayeuna kari peurihna.
  6. PUPUH GURISA

    (Ngagambarkeun nu ngalamun atawa malaweung) SI KABAYAN

    Si Kabayan lalamunan,

    pangrasa bisa nyetiran,

    motor atawana sedan,

    poho keur eundeuk-eundeukan,

    na dahan emplad-empladan,

    gujubar kana susukan.
  7. PUPUH JURU DEMUNG

    (Ngagambarkeun nu bingung ku kalakuan sorangan) ADIGUNG

    Lolobana mungguh jalma,

    embung hina hayang agung,

    hayang hirup mukti,

    tapina embung tarekah,

    tinangtu mo bakal nanjung.
  8. PUPUH KINANTI

    (Ngagambarkeun nu nungguan, deudeupeun atawa kanyaah) KANYAAH INDUNG

    Kanyaah indung mo suwung,

    lir jaladri tanpa tepi,

    lir gunung tanpa tutugan,

    asihna teuing ku wening,

    putra teh didama-dama,

    dianggo pupunden ati.
  9. PUPUH LAMBANG

    (Ngagambarkeun anu lohong banyol, tapi pikiraneun) WAWANGSALAN

    Dialajar wawangsalan,

    saperti tatarucingan,

    cik naon atuh maksudna,

    teangan naon wangsalna,

    gedong ngambang di sagara,

    ulah kapalang diajar,

    keuyeup gede di lautan,

    kapitineung salawasna.
  10. PUPUH LADRANG

    (Ngagambarkeun anu banyol tapi bari nyindiran) MOKAHAAN

    Aya hiji anak bangkong leutik,

    mokahaan,

    maksudna ngelehkeun sapi,

    nahan napas antukna bitu beuteungna.
  11. PUPUH MAGATRU

    (Ngagambarkeun nu sedih, bingung, handeueul atawa mapatahan) KASAR - LEMES

    Dupi irung lemesna teh nya pangambung,

    pipi mah disebat damis,

    upami buuk mah rambut,

    ceuli sok disebat cepil,

    kasarna angkeut mah gado.
  12. PUPUH MASKUMAMBANG

    (Ngagambarkeun kanalangsaan, sedih bari ngenes hate) BUDAK JAIL

    Anak manuk dikatepel budak jail,

    jangjangna getihan,

    rek hiber teu bisa usik,

    duh manusa kaniaya.
  13. PUPUH MIJIL

    (Ngagambartkeun kasedih tapi gede harepan) NUNGTUT ELMU

    Najan cicing nya di tepiswiring,

    kade ulah bodo,

    kudu tetep nungtut elmu bae,

    sabab jalma nu loba pangarti,

    hirup tangtu hurip,

    mulus tur rahayu.
  14. PUPUH PANGKUR

    (Ngagambarkeun nu gede ambek atawa nyanghareupan tugas beurat) KA SAKOLA

    Seja miang ka sakola,

    rek diajar nambahan elmu pangarti,

    pigeusaneun bekel hirup,

    sabab mungguhing manusa,

    kudu pinter beunghar ku elmu panemu,

    komo jaman pangwangunan,

    urang kudu singkil bakti.
  15. PUPUH PUCUNG

    (Ngagambarkeun nu ambek ka diri sorangan atawa keuheul kulantaran teu panuju hate) TATAKRAMA

    Mangka inget tatakrama sopan santun,

    tanda jalma iman,

    nyarita jeung amis budi,

    da basa mah lain barang anu mahal.
  16. PUPUH WIRANGRONG

    (Ngagambarkeun anu kawiwirangan, era ku polah sorangan) SIEUN DORAKA

    Kuring moal deui-deui,

    gaduh panata nu awon,

    ngabantah nu jadi indung,

    sieun dibendon ku Gusti,

    kawas Dalem Boncel tea,

    doraka ti ibu-rama.
  17. PUPUH SINOM

    (Ngagambarkeun kagumbiraan, kadeudeuh) TATAR SUNDA

    Tatar Sunda estu endah,

    lemah cai awit jadi,

    sarakan asal gumelar,

    amanat Ilahi Robbi,

    titipan nini aki,

    wajib dijaga dijungjung,

    basa katut budayana,

    padumukna luhung budi,

    insya-Allah tatar Sunda karta harja.
Gapuraning Gusti, 1992.
Rumpaka Pupuh Asmarandana, Dangdanggula, Kinanti, Sinom Tina Buku Wulang Krama karya Drs. R.H. Hidayat Suryalaga.

Silsilah Ngaran Patempatan Di Tatar Sunda

Oléh-oléh Priangan dilingkung gunung

Majalaya, Soréang, Banjaran Bandung…

Sempalan lagu “Borondong Garing” di luhur téh ngandung déskripsi sawatara ngaran tempat nu aya di Tatar Sunda. Demi nataan ngaran-ngaran tempat téh ilaharna sok disebut toponimi. Nurutkeun kajian folklore, toponimi téh bagian tina élmu onomastika (onomastics), anu ulikanana ngawengku di antarana baé: méré ngaran jalan, ngaran atawa jujuluk jalma, ngaran kadaharan, ngaran bubuahan kaasup asal-usul (legénda) ngaran hiji tempat dumasar kana ’sajarah’ ngajanggélékna.
Nataan ngaran tempat tangtu bakal loba rambat kamaléna lantaran ngajujut ngaran tempat mah teu cumpon ku nyawang ngan tina hiji aspék baé. Nya sawadina kudu dijujut deuih rupa-rupa informasi nu nyampak disatukangeun kaayaan éta tempat. Kumaha pakuat-pakaitna antara ngaran tempat jeung éta informasi? Ilustrasi di handap saeutikna baris méré gambaran anu écés.
Upamana, mun ti Subang rék ka Bandungkeun urang tangtu bakal ngaliwatan Tanjakan Émén. Éta tempat téh pernahna di kebon entéh, méméh gerbang Tangkuban Parahu. Mun dititenan éta ngaran tempat téh ngandung sababaraha informasi. Kahiji, pangna disebutkeun Tanjakan Émén nurutkeun setting fisikal (morfogéologis atawa kontur permukaan bumi) lantaran éta jalan téh nanjak (nanjeur). Kadua, di éta tanjakan téh nurutkeun setting sosial, cék sakaol mah (kira-kira taun 70-an) kungsi aya kajadian nu matak geunjleung. Di éta tempat, kungsi aya supir ompréngan Bandung-Subang cilaka, ngan duka alatan tabrakan duka tigebrus, nepi ka maotna. Ngaranna Émén. Ari cék mitos (setting kultural), lamun nu rék ngaliwat ka éta tempat kudu ngalungkeun roko ngarah salamet.
Kasus-kasus modél kitu téh bisa baé kapanggih di unggal tempat. Tina rupa-rupa informasi nu diébréhkeun dina ilustrasi téh tétéla ngaran tempat téh ngurung kana aspék-aspék fisikal, sosial jeung kultural ngeunaan éta tempat.
Mun dijujut, di urang (Tatar Sunda) teu saeutik ngaran tempat nu diasosiasikeun jeung rupa-rupa talajak alam (setting fisikal) nu pernah aya. Aya sababaraha pola nu maneuh raket jeung asosiasi, biasana ku cara matalikeun ngaran tempat jeung talajak alam téa. Éta pola téh bisa dicirian ku: kahiji, pola linier nyaéta ngaran tempat sacara langsung diadaptasi tina talajak alam. Demi talajak alam téh bisa ngawengku aspék hidrologis, aspék morfogéologis (kontur permukaan taneuh) jeung aspék biologis. Ari nu dimaksud pola nu kadua nyaéta ngaran tempat nu dicokot tina dua atawa leuwih boh talajak alam boh aspék sosiokultural dibarungkeun jadi hiji ngaran (konsép).
Ngaran patempatan nu ngindung kana aspék hidrologis di urang mah teu wudu beungharna. Mun cek istilah Karl A. Witfogel (urang Jerman) mah urang Sunda téh kakolomkeun kana hydrolic society, masarakat nu teu leupas tina cai. Ari kituna mah geus pada-pada maphum yén tanah Sunda téh cenah kawentar daérah nu subur ma’mur. Ari salasahiji ciri suburna taneuh téh nyaéta ku cur-corna cai. Ceuk nu resep heureuy téa mah cenah diciptakeunana Tatar Sunda ku Gusti Alloh téh ngadamelna ogé bari “marahmay, tur imut ngagelenyu”.
Geura urang guar, aspek hidrologis nu patali jeung pola linier, ngaran Andir upamana. Éta kecap téh seuhseuhanana mah kalawan torojogan diadaptasi tina talajak alam aspék hidrologis, anu saharti jeung huluwotan (springs), séké atawa cinyusu. Disawang tina jihat sajarah, munasabah Andir (lebah Bandara Husen Sastranegara) téh baheulana teu bina ti sumur. Ku lantaran éta tempat téh subur ku cai, Andir téh harita jadi tempat anu kagiridig. Jadi tempat pangimpungan jalma-jalma nu lumampah jauh boh nu badarat boh nu tumpak kuda pikeun ngaso jeung ngaleungitkeun hanaang. Lila-lila mah éta tempat téh jadi ramé, jadi pangjugjugan ti mana-mana. Nilik kana talajak alam nu aya di tatar Sunda, bawirasa mun di unggal tempat aya lembur nu dingaranan Andir. Di éta tempat bakal manggihan kalawan langsung aspék hidrologis anu disebut cinyusu, séké nu pernahna di suku gunung atawa lamping. Conto pola linier nu pakait jeung aspek hidrologis séjénna upamana ngaran: Empang, Parigi, Dano, Bendungan; Léngkong; Parung; Dermaga, jsté.
Ari pola nu kadua, lantaran gabungan téa tina dua aspek atawa leuwih (aspek hidrologis jeung aspék séjén kaasup rupaning istilah) di antarana: ci(cai): Ci-malaka; séké: Sékéloa; leuwi: Leuwidaun; curug: Curugsigay; bantar: Bantarmara; muara: Muararajeun; balong: Balonggedé; sawah: Sawahkurung; parakan: Parakansaat; situ: Situaksan; émpang: Émpangsari; solokan: Solokanjeruk; kali: Kalipucang; karang: Karangnini; ranca/rawa: Rancapurut, Rawa- badak; sagara: Sagaraanakan; sumur: Sumurbarang; talaga: Talagawarna; tambak: Tambaksari; lebak: Lebaksiuh; parigi: Parigimulya jrrd.
Tah lebah akumulasi tina ngaran-ngaran tempat di Tatar Sunda nu ditataan di luhur, bawirasa mun diproséntasekeun téh tangtu bakal didominasi ku ngaran nu dimimitian ku kecap ci. Naon sababna? Perlu aya panalungtikan nu leuwih jero.
Lian ti aspék hidrologis, ngaran tempat téh sok dipatalikeun ogé jeung aspék morfogéologis (dumasar kana kontur permukaan bumi) deuih. Ari pola linier nu patali jeung aspek morfogeologis di antarana: Punclut/Penclut, Legok, Tegal, Talun; Genténg jsté. Sedengkeun pola nu ngindung ka nu kadua Lemah Neundeut, upamana. Éta ngaran téh diadaptasi tina kaayaan lemah (taneuh) anu neundeut akibat ayana rohang di jero taneuh anu kosong (téktonik) nu ahirna ngareunteutkeun struktur taneuh. Conto-conto séjénna ngaran tempat nu diadaptasi tina aspék morfogéologis nu ngindung kana pola nu kadua, upamana baé: tina kecap tegal jadi ngaran Tegalkalong; kebon: Kebonjukut; cadas: Cadasngampar; pasir: Pasirjati; batu: Baturéok; guha: Guhapawon; legok: Legokhuni; bojong: Bojongméron; ujung: Ujungkulon; geger: Gegerkalong; tanjung: Tanjungsari; pulo: Pulomajeti, jrrd.
Kasus nu spésifik, deskripsi ngaran tempat nu patali jeung aspék morfogéologis bakal leubeut kapanggih di daérah pakidulan Tatar Sunda nu manjang ka tebéh wétan. Éta tempat téh mangrupa kawasan pagunungan anu katelah Southern Mountains, nu nuduhkeun hiji daérah pagunungan (non vulkanik). Tina kontur taneuh modél kitu munasabah mun di éta tempat loba nu dicokot tina talajak alam. Kota Tasikmalaya, apan salah sahiji cirina loba ngaran tempat nu maké ngaran gunung, nepi ka sohor ku jujuluk the ten thousand hill of Tasikmalaya. Kesan pernah ayana talajak alam modél kitu téh bisa diidentifikasi ngaliwatan ngaran tempat nu maké kecap gunung. Upamana bagian wilayah kota nu dibéré ngaran: Gunung sabeulah, Gunung lipung, Gunungroay, Gunung sari, Gunung gadog, Gunung pereng, Gunung awi, Gunung jambé, Gunung putat, Gunung Ki-Cau, Gunung Pongpok jrrd.
Sedengkeun aspek biologis sok dipatalikeun jeung lingkungan alam (sistem ékologis) nu aya di sabudeureunnana. Ngaran tempat biasana dicirian atawa ngarujuk kana aspek flora jeung fauna. Upamana flora, nyaéta tangkal nu aya atawa nu hirup di éta tempat. Geura urang pedar nu patali jeung pola linier dina aspek biologis. Upamana ngaran Kosambi. Mungkin baé éta tempat téh harita mah can boga ngaran. Pikeun kapentingan nuduhkeun éta tempat, kabeneran deuih di dinya téh aya tangkal kosambi nya tuluy ditarelah baé ngaran Kosambi, malah nepi ka ayeuna. Di tatar Sunda bawirasa asa loba pisan ngaran tempat nu maké ngaran tutuwuhan/tangkal tina pola linier. Geura urang tataan ngaran-ngaranna, saperti: Garut, Bayongbong, Sentul, Kosar, Katapang, Dangdeur, Calingcing, Dukuh, Rambutan, Balingbing, Cangkuang, Baros, Loa, Menteng, Bintaro, Bencoy, Jati, Paséh, Kopo, Kirisik, Haramay, Petir, Kawista, Kroya, Gorda(h), Gempol; Gandasoli; Gambir; Gadog, Jamblang, Jambu, Jampang, Darangdan, Bugel, Bihbul. Gombong, jrrd.
Demi pola nu kadua, nya eta Haurkonéng, Haur Pancuh, Haur Pugur, Buahdua, Warudoyong, Kalapanunggal, Kasomalang, Kiaracondong, Gintunglempeng, Jatitujuh, Kawungluwuk, Pakuhaji, Kadungora, Rengasdengklok, jrrd. Kaasup ngaran tempat séjénna, Dungusmaung (dungus atawa rungkun; maung), Leuweungtiis (leuweung; tiis (aspék klimatologis)), Pengkolan Asem, Warung Togé, Leuwilaisah, jrrd.
Kumaha ari ngaran tempat nu dicokot tina aspék sosial? Ngaran Banceuy (lebah alun-alun Bandung beulah kalér) upamana. Banceuy téh sacara étimologis ngabogaan harti kompléks kuda, kaasup istal jeung nu ngurusna. Ieu patempatan téh gelarna sabada aya jalan raya pos (Grote Postweg) nu ngembat ti Anyer ka Panarukan téa. Ieu Banceuy téh sok dipaké tempat pangreureuhan atawa bagantina kuda pikeun kapentingan transportasi jeung kaperluan pos (pasuratan) harita. Mun aya surat atawa barang ti Batawi kudu dianteurkeun ka Semarang, nya tangtu baé moal kuateun mun kudu meleter kuda hiji nepi ka Semarang. Munasabah pisan upama ngaran Banceuy téh aya méh di tempat (kota) nu kaliwatan ku éta jalan.
Conto séjén, Balubur. Apan éta ogé teu leupas tina aspék sosial jaman pangawulaan. Harita balubur téh ngaran tempat aya dina kakawasaan bupati (boga hak istiméwa). Mun cara ayeuna mah meureun sarua jeung kompléks perumahan pejabat (para menak) kabupatén. Conto séjénna nu patali jaman pangawulaan: Patrol, Karéés, Régol, Pamager sari, Pungkur jsté. Atuh ngaran-ngaran nu maké kecap kekebonan luyu jeung tangkal nu dipelakna (lelewek Bandung), upamana: Kebon Kalapa, Kebon Jukut, Kebon Kawung jrrd. éta ogé teu leupas tina aspék sosial harita. Kebon kopi di Ciaruteun (Bogor), apan teu leupas tina sétting sosial malah kaasup setting kultural, nyaéta tempat dkapanggihna prasasti batutulis Kebon Kopi. Éta tempat téh ngait kana jaman ‘tanam paksa’ Culturstelsel nu ngawajibkeun masarakatna marelak kopi. Harita leuweung dibabad pikeun dijadikeun kebon kopi. Nepi ka ayeuna éta tempat téh nelah kampung Kebon kopi. Titinggal cultur stelsel téh, nu abadi nepi ka kiwari sok dikarawihkeun, cenah:
Dengkleung déngdék, buah kopi raranggeuyan

Ingkeun anu déwék ulah pati diheureuyan.

Ari ngababad leuweung pikeun kapentingan pitempateun ilaharna sok disebut ngababakan. Mun rék ngababakan tara leupas sistem kapercayaan masarakatna ngeunaan hadé-goréngna hiji tempat. Tina sistem pangaweruh masyarakatna kana panataan patempatan nya lahir istilah-istilah topografi saperti: galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah nangkub jsté. Tah lembur meunang muka anyar téh sok ditarelah wé kampung babakan.
Di Bandung gé apan sakitu ngaleuyana ngaran tempat nu maké kecap babakan, saperti Babakan Surabaya, Babakan Ciamis, Babakan Sumedang, Babakan Ciparay jsté. Éta ngaran-ngaran tempat téh raket pisan patalina jeung talajak sosial waktu ngadegkeun éta tempat. Babakan Surabaya upamana, dalit pisan jeung talajak sosial, ku kajadian dipindahkeunana instalasi militér, pabrik senjata/mesiu nu sok disebut Artillerie Contructie Winkel (ACW) ti Ngawi jeung Surabaya ka lelewek Kiaracondong. Ayeuna mah éta pabrik senjata téh katelah PINDAD. Ti dinya loba pagawé ACW (urang Surabaya jeung Ngawi) nu pindah ngaradon “bedol désa” ka Tatar Sunda. Cék Haryoto Kunto, nya ti harita aya kacapangan dina wangun sisindiran keur ngageuhgeuykeun urang Jawa nu unina “Jawa Kowék dagang Apu, datang poék teu diaku”. Ieu geuhgeuyan téh lantaran loba “bedoler” datangna ka Bandung kapeutingan. Boa boa pedah naék spur “Si Kuik” kawasna mah, anu ngadided majuna jeung loba eureunna téa. Sadatangna ka Bandung, tuluy baé muka lembur, arimah-imah, nya katelah wé babakan Surabaya.
Masih cék Haryoto, aya talajak sosial anu unik sabudeureun kota Bandung harita. Bawirasa ayeuna ogé masih dipaké. Nyaéta sebutan ‘dayeuh’. Dayeuh téh mangrupa istilah anu populér pikeun ngarujuk kota Bandung. Jadi nyaba ka ‘dayeuh’ maksudna indit ka Bandung.
Ari sétting kultural nyaéta ngurung kana ngaran tempat nu dipatalikeun jeung unsur-unsur gagasan atawa ide saperti: aspék mitologi, folklore, sistem kapercayaan masarakatna. jsb. Najan dina émprona mah dalit jeung seting sosial. Saupama ngajujut ngaran tempat, teu kakobet ku cara boh setting fisikal, boh setting sosial nya tarékah pamungkas téh maké setting kultural. Lamun loba ngaran tempat/kota di tatar Sunda nu teu bisa dijujut maké perspéktif fisikal, nya wayahna kudu dibantuan ku mitologi, folklore jeung sistem kapercayaan. Majaléngka pan ngaitna téh jeung mitologi Nyi Rambut Kasih, Bandung nyantélna jeung carita legénda Sangkuriang, Sumedang jeung étimologi Insun Medal jste. Réa kénéh ungkabeun mah saperti Tanjakan Sahrudin? Dago Jawa? Selagedang? Gado Bangkong? Curug Pangantén? Gunung Tampomas? Gunung Galunggung? jrrd. Lebah dieu perlu metakeun jampé pamaké téh. Dina nyukcruk ngaran tempat, informasina téh biasana nyamuni disatukangeun budaya nu jadi bagian integral tina kahirupan masarakatna.
Nyukcruk sarsilah ngaran Plumbon, Karapyak, Palimanan jste. mun kurang-kurangna urang apal kana kasangtukang budaya, tangtu bakal lebeng, bakal poékkeun. Nya cara maluruhna, kahiji ku jalan mesék éta kecap sacara étimologis; nu kadua dipatalikeun jeung aspék sosial budaya jaman harita ngeunaan éta tempat, saperti conto kasus Tanjakan Émén di luhur.
Geura urang pesék, upamana Palimanan. Naon sababna bet dingaranan Palimanan? Singhoréng aya sasakalana. Kecap palimanan téh sacara étimologis asal kecap tina liman (Kawi) nu hartina gajah, dibéré rarangkén barung (konfiks) pa-an nu hartina tempat. Sabada dirarangkenan éta kecap ngandung harti tempat nu dicicingan ku gajah. Ceuk légégna mah komplék gajah.
Naha maké aya gajah di éta tempat? Demi kota Palimanan, aya di daérah bawahan karajaan Cirebon (Sultan Cirebon). Ari Sultan téh nya raja téa. Demi nu jadi raja harita, (patalina jeung kontéks sosiokultural mitis-magis) boga anggapan yén miara gajah (satwa kalangenan) mangrupa salahsahiji kasaktén anu gedé pisan pangaruhna kana kalungguhan jeung komara éta raja. Nurutkeun B. Anderson dina seuhseuhanana tradisi pikiran politik Jawa (Sunda) kacida muhit jeung mentingkeunana kana kamampuh museurkeun kasaktén. Tah lebah miara satwa di lingkungan karaton/karajaan, dianggap bisa népakeun karakter nu sarua ka raja. Mawat gajah (salaku mitos) dipercaya bisa ngalambangkeun kaagungan, kakuatan sarta kasaktén éta raja/sultan.
Tina pedaran di luhur, katitén yén ngaran-ngaran pilemburan husus di Tatar Sunda teu sagawayah. Unggal ngaran tempat téh ngabogaan kasangtukang kasajarahan (sasakala) nu patali jeung setting fisikal, setting sosial jeung setting kultural. Nya kekecapan karuhun urang yén lembur matuh, dayeuh maneuh banjar karang pamidangan téh ninggang dina kekecrék. ***
Tina Cupumanik No.17/2004

Selasa, 10 Agustus 2010

Surat Cinta UntukMu..

Aaahhh..
Mengapa selalu saja hanya bisa sebatas mengagumi..
Memandangi dari jauh tanpa bisa menyentuh..
Menghirup pesona namun tak berasa..

Hari ini aku jatuh (cinta) lagi, Tuhan..
Aku tidak tahu ini yang keberapa kali..
Aku bahkan tak ingat lagi..
Aku tahu aku mudah jatuh, Tuhan..
Terlalu mudah, bahkan..
Tapi setiap kali jatuh..
Aku yakin jatuhku itu nyata..
Karena seluruh tubuhku merespon kehadirannya..
Tuhan..
Kata orang jatuh itu indah..
Tapi mengapa yang kuingat hanya sakit..
Sakitnya jatuh tanpa bisa merengkuh..
Aku ingin seperti orang lain, Tuhan..
Mereka jatuh tapi tak pernah ingin bangkit..
Karena indahnya..
Tuhan..
Aku takut ketika nanti aku jatuh (lagi) dan tak ingin bangkit,
Aku hanya mampu memandangi dari jauh..
Tanpa bisa menyentuh..
Tanpa bisa merengkuh..
Sampai akhirnya hatiku mati dari rasa..

Minggu, 08 Agustus 2010

Muhasabah Diri

Tuhanku,
Aku hanyalah sebutir pasir di gurun-MU yang luas
Aku hanyalah setetes embun di lautanMU yang meluap hingga ke seluruh samudra
Aku hanya sepotong rumput di padangMU yang memenuhi bumi
Aku hanya sebutir kerikil di gunungMU yang menjulang menyapa langit
Aku hanya seonggok bintang kecil yang redup di samudra langit Mu yang tanpa batas
Tuhanku
Hamba yang hina ini menyadari tiada artinya diri ini di hadapanMU
Tiada Engkau sedikitpun memerlukan akan tetapi
hamba terus menggantungkan segunung harapan padaMU
Tuhanku.. baktiku tiada arti, ibadahku hanya sepercik air
Bagaimana mungkin sepercik air itu dapat memadamkan api nerakaMU
Betapa sadar diri begitu hina dihadapanMU
Jangan jadikan hamba hina dihadapan makhlukMU
Diri yang tangannya banyak maksiat ini,
Mulut yang banyak maksiat ini,
Mata yang banyak maksiat ini
Hati yang telah terkotori oleh noda ini memiliki keninginana setinggi langit
Mungkinkah hamba yang hina ini menatap wajahMu yang mulia???
Tuhan Kami semua fakir di hadapanMU tapi juga kikir dalam mengabdi kepadaMU
Semua makhlukMU meminta kepadaMU dan pintaku.
Ampunilah aku dan sudara-saudaraku yang telah memberi arti dalam hidupku
Sukseskanlah mereka mudahkanlah urusannya
Mungkin tanpa kami sadari , kamu pernah melanggar aturanMU
Melanggar aturtan qiyadah kami,bahkan terlena dan tak mau tahu akan amanah
Yang telah Tuhan percayakan kepada kami Ampunilah kami
Pertemukan kami dalam SyurgaMU dalam bingkai kecintaan kepadaMU
Tuhanku, Siangku tak selalu dalam iman yang teguh
Malamku tak senantiasa dibasahi airmata taubat,
Pagiku tak selalu terhias oleh dzikir padaMU
Begitulah si lemah ini dalam upayanya yang sedikit
Janganlah kau cabut nyawaku dalam keadaan lupa padaMu
Atau dalam maksiat kepadaMU
Ya Tuhanku Tutuplah untuk kamu dengan sebaik-baiknya penutupan !!
Amiiin.