Selasa, 20 Juli 2010

Sejarah dan Perkembangan Musik Rap di Indonesia

SIAPA sih yang gak kenal musik rap yang juga sering disebut musik hip-hop? Zaman sekarang kalau ngomongin musik jenis ini kamu mungkin akan langsung terbayang rapper-rapper yang sering kita dengar, misal Puff Daddy atau Diddy, Kanye West, Nelly, 50 Cent, ataupun Eminem. Mereka masing-masing memang memberikan sentuhan khas ke rap mereka, tapi mereka sama sekali bukan pencipta atau pencetus jenis musik ini. Mereka hanyalah cucu atau bahkan cicit dalam sejarah musik rap. Ini karena asal muasal rap muncul sejak tahun 1970-an. [P Diddy waktu itu masih anak-anak dan dikenal dengan nama aslinya, Sean Combs. Apalagi si Eminem, dia masih bayi bernama Marshall Mathers dan jangankan ngomong kasar—ngomong aja belum bisa kali!]

Budaya hip-hop.
Musik rap adalah bagian dari gaya hidup hip-hop. Hip-hop adalah sub-kultur yang mulai muncul di lingkungan anak-anak kulit hitam dan hispanic yang tinggal di daerah Bronx di kota New York, Amerika Serikat. Budaya hip-hop sering ditandai dengan pilihan pakaian, graffiti pada tembok, dan gerakan dance mereka. Musik hip-hop punya ciri yang khas berupa beat yang kuat dan dibumbui dengan lirik-lirik yang mengalir dengan enak karena kata-katanya rhyming—kayak puisi. Satu hal yang menarik, pada jaman itu, istilah “rapper” sendiri belum ada. Yang ada MC dan DJ. [Sedikit beda dengan MC yang disewa kakakmu waktu dia bikin resepsi kawinan tahun lalu], MC ini tugasnya ngomong diantara lagu-lagu yang diputar DJ buat ngenalin judul lagu-lagu itu atau bikin komentar-komentar lain yang bikin suasana tambah enak. Agar yang dengerin gak keganggu dengan ocehan MC, si MC akan bikin ocehannya mengalir dan menyatu dengan musiknya. Ini jadi salah satu cikal bakal rapping yang kita kenal hari ini.

Pengaruh Jamaica.
Pengaruh cukup besar terhadap musik rap zaman sekarang juga berasal dari akulturasi [mudah-mudahan kata ini artinya pencampuran atau perkawinan] budaya Amerika dan Jamaica. Jadi, ceritanya, orang Jamaica seneng banget dengan music R&B yang dikenalkan tentara Amerika di Jamaica dan diputar radio-radio di sana. Sering dibuat semacam tempat dansa dadakan [Mendadak R&B?] dengan cara memasang sound-system yang cukup gede buat didengar orang-orang di sekitaranya. Karena orang Jamaica pada waktu itu gak bisa bikin musik R&B sebagus orang Amerika, biasanya musik R&B yang dimainkan adalah rekaman dari musisi Amerika. Dan agar ada unsur Jamaica-nya, selalu ada MC lokal (orang Jamaica) yang nge-“toast” selama musik berjalan. Toasting itu pokoknya adalah aktivitas ngoceh sambil musik jalan terus. Kadang yang di-oceh-kan itu frasa-frasa atau kata-kata sederhana yang bisa bikin tambah semangat orang-orang yang sedang joget, misal “move it, move it” atau “work it, work it” [dan ini tentu dengan logat Jamaica yang berat dan seksi itu].

MC dan DJ mulai kreatif.
Dengan beberapa pengaruh ini, ditambah “penemuan-penemuan baru” yang muncul dalam teknik musik hip hop, jenis musik ini semakin disukai oleh makin banyak orang. Kreativitas terus berkembang. DJ mulai macem-macem ide, tingkah, dan tekniknya. Dengan turntable ganda, DJ mulai menggunakan teknik-teknik breaking dimana bagian-bagian lagu tertentu akan ditelanjangi sehingga hanya beat dasar yang kedengar atau scratching dimana piringan hitam akan diputar maju dan mundur secara cepat sehingga keluar bunyi yang khas, dan teknik-teknik lain. Meningkatnya kemampuan DJ juga diiringi dengan perkembangan yang pesat dari partner-nya, yaitu sang MC. MC semakin kreatif dalam membuat cerita dan lirik-liriknya menjadi sebuah tontonan tersendiri selain musik yang mengiringinya. Fokus mulai sedikit banyak beralih pada MC itu sendiri. Remaja kulit hitam, hispanic, maupun minoritas lainnya di Amerika mulai giat melatih kemampuan ngoceh dengan cerita yang menarik dan dalam melodi yang enak didengar. Ocehan anak satu akan nyambung dengan anak lainnya dan dan bahkan bisa saling menjawab. Dari sini nanti berkembang pula yang disebut battle, yaitu adu lirik—saling jawab, saling serang. [Imagine berbalas pantun without the pakaian daerah!] Eniwei, setelah semakin banyak orang bikin musik jenis ini, akhirnya sejarah mencatat rekaman musik rap pertama yang meledak secara komersial dan mendapat perhatian serta pengakuan publik secara luas. Kelompok yang membawakannya bernama Sugar Hill Gang dan lagunya berjudul Rapper’s Delight. Bahkan kata “rapper” itupun dipopulerkan oleh lagu ini. Orang mulai menyebut istilah rapper untuk menggantikan kata MC.

How would you like your rap, sir?—Munculnya berbagai jenis rap.
Seperti dalam genre musik lain, genre rap-pun mulai berkembang menjadi beberapa “jenis” musik rap. Memang sepertinya nggak ada textbook yang dengan jelas membagi jenis-jenis musik rap, tapi dari pengamatan sehari-hari kita bisa lihat paling tidak ada beberapa jenis. Yang mungkin paling sering kita dengar beritanya adalah gangsta rap (rap-nya gangster gitu maksudnya). Kalau mau, baca juga boks yang cerita tentang gangsta rap ini—West Coast vs. East Coast]. Selain karena jenis rap ini emang populer, kita kadang lebih sering denger jenis rap ini karena para rappernya juga sering bikin ulah sehingga berita tentang gangsta rap ini menjadi semakin banyak muncul. Kamu mungkin kenal Tupac Shakur, Notorious B.I.G., Snoop Dogg, dan lain sebagainya—mereka masuk kategori gangster ini. Dulu P-Diddy dan Jay-Z kayaknya juga bisa dikatakan jelas masuk ke kategori ini, tapi sekarang gak jelas juga. Lebih banyak ke arah pop-rap kayaknya. Tema-tema mereka sudah bukan tentang hidup gangster di jalanan melulu. Banyak rapper yang topik liriknya berubah dengan perubahan-perubahan yang dia alami dalam kehidupan sehari-hari. Manusiawi. Terus ada juga rap yang warna Jamaica-nya sedikit lebih kental, dulu Wyclef Jean suka main jenis ini, tapi mungkin sekarang bisa juga udah berubah. Terus ada party-rap, dulu Will Smith (waktu itu masih tergabung dalam duo bernama DJ Jazzy Jazz and the Fresh Prince) suka membawakan lagu yang tema-temanya pesta dan acara-acara lain yang suasananya enak. Satu hal yang patut dicatat tentang Will Smith adalah bahwa dia punya komitmen yang besar untuk tidak pakai kata-kata kasar — atau orang bule biasa nyebut-nya sebagai four-letter-words — dan temanya-pun selalu positif. Ada juga rapper yang akhir-akhir ini yang semakin ngetop yang namanya Kanye West. Dia sih masih pakai kata-kata kasar di sana sini (tapi nggak diobral banget juga) tapi tema lagu-lagunya beda dengan rekan-rekannya. Kanye kadang romantis, kadang humoris, kadang satiristis. Dalam albumnya Late Registration, justru banyak lirik dan skit yang cerita seolah-olah dia miskin banget. Ini 180% kebalikan dengan rapper-rapper lain yang biasanya akan cerita tentang perhiasannya, duitnya, cewek-ceweknya, dan mobil-mobilnya (baik low-rider yang bisa naik-turun pake suspensi hidrolik maupun mobil-mobilnya yang pake dubs—itu lho pelek bling-bling yang ukurannya 20 inch ke atas.) Ini contoh aktualisasi sense of humor-nya si Kanye. Terus ada juga sound yang disebut G-funk yang dikenal oleh rapper-rapper west coast (yaitu di California, AS). G-funk ini banyak dipopulerkan oleh rapper bernama Warren G. Terus tentu saja kita tahu bahwa mulai ada rapper-rapper kulit putih yang mencoba nasibnya dalam dunia yang dikuasai oleh orang berkulit hitam ini. Tersebutlah beberapa nama seperti Vanilla Ice, Eminem, Linkin Park, Crazy Town, Limp Bizkit dan lain lain yang menyajikan rap versi mereka masing-masing. Seperti kita tahu, tingkat kesuksesan mereka-pun berbeda-beda. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa rap oleh orang kulit putih tidak [atau belum?] sebesar rap oleh, misalnya keturunan hispanic di Amerika. Jika kita ingat, cerita mengenai lahirnya cikal bakal musik rap di atas, kita akan ingat bahwa Bronx selain dipadati oleh orang kulit hitam juga dihuni oleh banyak orang keturunan hispanic. Jadi maklumlah bahwa penggemar musik rap pada umumnya adalah orang kulit hitam dan keturunan hispanic. Namun itupun lambat laun berubah. Fenomena yang ada sekarang sering disebut cross-over, yaitu menyebrangnya orang kulit putih dan etnik lain-lain menjadi penggemar musik rap. Rap has gone mainstream.

Rap Inc. Advertising Firm?
Satu hal yang khas tentang musik rap adalah bahwa walaupun kita sedang mendengarkan gangsta rap, bisa saja—kalau kita simak liriknya—kita dibuat senyum di sana-sini. Ini karena dalam lirik yang temanya keras-pun, dapat kita dengar sesuatu yang lucu—atau paling tidak—sedikit menggelitik. Rapper memang sering suka menyebut atau membandingkan sesuatu dengan produk yang kita kenal sehari-hari (misal jenis kartu kredit, makanan & minuman, merek baju, dan lain-lain) dengan sentuhan humor. Kadang rapper juga suka nyebut selebritis atau rapper lain [dan tidak selalu dalam konteks yang menyenangkan mereka]. Eniwei, mengingat bahwa Amerika adalah tempat lahir dan berkembangnya musik rap dan juga salah satu negara dimana industri marketing dan advertising-nya sangat maju, banyak orang menuduh bahwa beberapa perusahaan besar melakukan ”product placement” dalam lagu-lagu rap. Tuduhan itu wajar, toh dalam dunia filem product placement menjadi sangat, sangat umum. [Kalau kita nonton filem keluaran Hollywood, dan lihat jagoannya naik mobil, misal, BMW sambil bicara dengan, misalnya handphone Sony Ericsson, kemungkinan besar itu adalah product placement oleh BMW, Sony Ericsson dan Swatch—waktu ngangkat HP sempat keliatan dia pake jam Swatch Skin]. Seperti dalam dunia filem, perusahaan yang melakukan product placement dalam industri musik rap akan membayar rapper untuk menyebut merek produknya dalam lagu rap mereka. Terlepas dari benar nggaknya tuduhan itu, sulit juga untuk membedakan apakah waktu si Puffy cerita bahwa dia punya Mercedes yang belum pernah dia pake dalam salah satu lagunya adalah kemauan si Puffy sendiri ataukah Benz kasih dia duit? Memang sulit, kadang rapper memang menyebut merek-merek yang sangat sehari-hari (misal, MTV, KFC, kartu kredit Visa) dan kadang menyebut merek-merek kelas atas (misal Mercedes Benz, Rolex, Armani) secara suka rela—tergantung dari cerita lagu itu. Tapi terlepas dari dibayar atau nggak, kalo penyebutan itu bikin liriknya lebih deskriptif, lebih nge-flow, atau nge-rhyme, rasanya kita gak usah terlalu ambil pusing. Ohiya, sebelum selesai bicara tentang product placement, percaya nggak kalau kata ”Indonesia” juga disebut oleh beberapa rapper Amerika dalam lirik lagunya? Yang saya tahu adalah Notorious B.I.G. dan Will Smith. Siapa tahu Departemen Pariwisata Republik Indonesia menjalin kerjasama dengan kedua rapper itu [yeah, right!—just imagine the proposal letter: Yth. Bapak Notorious B.I.G., dengan ini kami sampaikan proposal...] Eniwei, kembali bicara mengenai warna dan tema, masih banyak warna-warna lain yang unik yang dibawakan oleh rapper-rapper lain dan semuanya terus berkembang. Kelak mungkin kita akan liat warna-warna atau tema-tema yang baru. Seperti jenis musik lainnya, rap adalah ekspresi jiwa dari manusia-manusia pencipta ataupun pendengarnya. Keadaan sosial sehari-hari akan sedikit banyak menentukan tema-tema yang ada.

Rap dan alam & budaya Indonesia.
Kalau musik rap di Indonesia gimana? Seperti di berbagai negara lain, musik rap juga berkembang di Indonesia—walau mungkin tidak dengan amat pesat. Masih ingat jaman Iwa K masih sering kita dengar di radio-radio? Banyak bermunculan kelompok-kelompok rap Indonesia yang lirik-liriknya sedikit banyak cerita kehidupan sehari-hari dan cukup menghibur. Unsur humor cukup kental juga digunakan dalam lirik-lirik buatan Indonesia dan memang sepertinya humor itu menjual. Siapa sih yang bakalan nolak dikasih lirik bahasa Indonesia yang lucu dan gampang diingat dan dilatari dengan melodi dan beat yang enak? Banyak? Tapi ternyata tidak banyak banget juga. Lihatlah sekeliling kita? Apa kita banyak lihat kelompok-kelompok rap lokal apalagi yang tingkat popularitasnya sebanding dengan kelompok-kelompok lokal pengusung musik pop dan rock? Di sisi pop dan rock ada Shiela on 7, Nidji, Peterpan, dan seabreg lagi. [Contohnya gak usah banyak-banyak, toh ini juga bukan product placement]. Tapi disisi musik rap lokal? Bagai bumi dan langit. Kenapa ini bisa terjadi? Mungkin jawaban yang sederhana dan agak ngawur [tapi mungkin juga tidak terlalu ngawur] adalah: karena alam dan budaya Indonesia menghendakinya demikian. Mungkin alam dan budaya Indonesia memang tidak cocok untuk musik rap Indonesia? Bisa jadi.

Proses ”seleksi dan uji coba”.
Indonesia dan orang Indonesia itu sangat beragam. Background budaya-nya pun beragam. Akibatnya, kita ini mempunyai budaya yang gampang menyerap seni, budaya, adat istiadat lain. Dan itu bagus karena budaya kita akan menjadi semakin kaya dan terus berkembang. Sebagai gambaran, kalau ada jenis musik baru, misalnya rock, yang muncul di luar sono, maka dengan musik itu akan sampai di Indonesia juga. Dan dengan tidak kita sadari akan terjadi suatu proses ”seleksi dan uji coba”. Jika dirasakan cocok, maka jenis musik itu akan tinggal di Indonesia dan melebur dengan gaya dan budaya yang sudah ada di Indonesia dan jadilah musik rock Indonesia. Seandainya musik rock itu—setelah melalui “proses seleksi dan uji coba”—ternyata dianggap oleh mayoritas orang Indonesia kurang cocok, maka musik rock itu pelan-pelan akan meninggalkan budaya kita dan berada di bawah radar dan indera budaya kita. Akhirnya musik rock akan dianggap hanya sebagai passing fad di Indonesia. Tapi tentu saja ini hanya sebuah contoh karena kita tahu bahwa musik rock telah masuk, melewati proses ”seleksi dan ujicoba”, dan lulus dengan angka yang sangat memuaskan. Hampir sudah tak terhitungkan berapa jumlah pemusik rock di Indonesia. Banyak diantara mereka yang bisa make a pretty darn good life out of it too!

Nice try, but come back next year please.
Gimana nasib musik rap? Apakah mereka telah lolos proses seleksi dan uji coba di Indonesia? Mungkin jawabannya ”tidak” atau paling-tidak ”belum”. Beberapa tahun lalu musik rap Indonesia pernah mulai akan merebak, namun ternyata kecepatan rebak-nya tidak dapat dipertahankan. Dalam konteks musik Indonesia, berapa diantara kita yang sambil menunggu pintu lift terbuka [kalau pas agak sepi] suka mensiulkan atau melantunkan tembang Peterpan, Nidji, atau Dewa atau kelompok lokal lainnya? Berapa diantara kita yang melantunkan lirik-lirik rap lokal? [***Ding-ding*** pintu lift terbuka, diam, dan tertutup kembali—tetap tidak ada orang yang melantunkan musik rap lokal.] But why? Mungkin memang nggak pas untuk kita karena berbagai alasan: 1). Memang nggak kita banget, 2) Konotasi negatif yang timbul dari beberapa nukilan berita yang sempat terdengar tentang dunia rap di Amerika, 3) Sulit untuk nge-rap dalam bahasa Indonesia karena struktur kata-katanya yang panjang dan 4) Anak-anak yang pengen jadi rapper belum PD [maksudnya percaya diri, bukan Puff Daddy] untuk bikin lirik dan nge-rap dalam bahasa Inggris, atau seribu satu alasan tidak jelas lainnya. Alasan bisa tidak jelas, tapi yang jelas musik rap lokal memang kurang berkembang di Indonesia.

Why make when you can just buy?
Kenapa tadi saya bilang bahwa jawaban dari pertanyaan “Apakah musik rap lolos dari proses seleksi dan uji coba?” adalah “tidak atau belum”—dan bukan “tidak” saja? Karena, menurut saya, mungkin saja gelombang musik rap akan mencoba sekali lagi untuk masuk pintu-pintu telinga dan hati orang Indonesia dan berharap akan diangkat menjadi sesuatu yang Indonesia. Dengan semakin banyaknya penyanyi lokal yang lihai bikin dan fasih nyanyi lagu-lagu dalam bahasa Inggris maka mungkin akan muncul rapper-rapper yang dari suara, bahasa, dan lingo-nya gak bisa dibeda’in apakah dia rapper dari Brooklyn atau Blok-M. Too Phat dari Malaysia adalah salah satu contoh yang cukup lumayan. Kedua anggota duo itu tidak hanya punya kemampuan mengucapkan kata-kata bahasa Inggris sebagaimana native speaker bahasa itu, namun juga cukup tahu lingo rap yang musti digunakan. [Pernah dengar orang yang nggak ngerti komputer nerangin kerusakan komputer kepada orang IT support? ”Mas, komputer saya kedip-kedipannya kadang suka hang dan nggak mau pindah walau sudah saya enter-enter driver-nya. Kena virus ya, Mas?”. Ini sekedar contoh orang yang using all the wrong lingos]. Mereka—Too Phat, maksudnya—bahkan dapat kolaborasi dengan rapper Warren G (dari California, AS) untuk me-rilis-ulang salah satu hits dia beberapa tahun lalu. Dan semua itu bisa juga terjadi di Indonesia. Bisa iya dan bisa tidak. Tapi, apapun yang terjadi menurut saya baik. Ada hal-hal tertentu dari luar yang mudah di adaptasi oleh kita dan dibuat oleh kita dan dikembangkan oleh kita sehingga mencarinya-pun cukup di lokal—misal pizza, burger, dan mungkin beberapa jenis pakaian. Namun ada hal-hal lain yang kadang kita pikir kita lebih enak untuk ambil saja barangnya dari negara pencipta asalnya—misal branded clothing, beberapa produk elektronik, dan mungkin saja musik rap? Kita lihat saja.***

Minggu, 11 Juli 2010

Serenade Malam

“Ambilkan bulan, Bu....”

Ia melantunkan lagu tersebut berkali-kali di telingaku. Kadang sampai aku merasa bosan mendengarnya, tapi ia tidak pernah lelah menghiburku. Kakakku tersayang satu-satunya, ia tidak pernah bosan menina-bobokanku dengan lagu tersebut.

“Kak, kita tidur di sini sekarang?” tanyaku. Ia tersenyum dan mengangguk. Rambut pendeknya terayun-ayun dan matanya bersinar.

“Kita tidur di sini supaya bisa melihat bulan. Adek senang kan melihat bulan...?” tanyanya kemudian.

“He-eh.” Jawabku pendek. Aku sangat mengantuk. Karenanya, aku segera merebahkan diriku di atas terpal plastik yang ia dapat dari sisa-sisa bangunan yang baru dipugar siang tadi. Aku menatap langit yang terbentang luas. Pendar-pendar perak cahaya bintang kadang tampak mengabur di mataku yang tersapu angin. Suara jangkrik dari balik rumput liar begitu dekat terdengar di telingku. Sesaat kemudian, angin kali berhembus. Aku menggigil kedinginan.

“Dek, Adek kedinginan, ya...?” tanyanya sambil mengusap keningku. Aku mengangguk pelan. Aku ingin mengatakan padanya tidak apa-apa, tapi bibirku terasa kaku.

“Pakai sarung saja, ya Dek....” Ia mengambil tas kecil yang selalu tergantung di bahunya, kemudian mengeluarkan sarung kotak-kotak berwarna merah pudar. Tidak lama kemudian, seluruh tubuh kecilku sudah terbungkus oleh sarung tersebut, sarung satu-satunya peninggalan emak sebelum meninggal.

“Kak....” Aku mendesis. “Emak sekarang di mana ya?” Tanyaku.

Ia terdiam mendengar pertanyaanku, mungkin bingung menjawabnya.

“Emak sekarang ada di sana.” Jawabnya kemudian sambil menengadah menatap langit malam. “Adek lihat bintang-bintang itu...? Nah, bersama merekalah sekarang emak berada.” Lanjutnya.

Aku ganti terdiam. Bayangan emak satu persatu berkelebat di benakku. Tiga bulan. Ya, tepat tiga bulan yang lalu emak meninggalkan kami berdua. Biasanya emak tidak pernah pergi lama-lama, paling hanya untuk berjualan di pasar. Tapi kali itu tidak. Kakakku bilang, walaupun emak tidur, tapi ia tidak akan pernah bangun lagi.

Lalu semuanya berubah tiba-tiba. Para tetangga tiba-tiba saja datang dengan wajah sangar sambil berkata hal-hal yang tidak ku mengerti. Satu-satu mereka mengambil segala barang yang ada di dalam gubuk kami. Radio, kompor, panci, ember, bahkan hingga baju-baju tua ibu. Saat itu kakakku hanya menangis tersedu-sedu di sudut rumah sambil memelukku yang baru pulang bermain layang-layang.

“Dek, kita harus pergi dari sini.” Begitu katanya.

“Huaaaahhhmmm....” Aku menguap lebar-lebar. Rasanya mataku berat sekali.

“Kak, tidur yuk, sudah malam.” Ajakku.

Ia hanya tersenyum dan beringsut-ingsut mencoba merebahkan tubuhnya, tapi tiba-tiba...

“Aduuuuh.” Ia mengaduh kecil saat punggungnya menyentuh tanah.

“Kak, masih sakit punggungnya?” Tanyaku kaget. Terduduk aku memperhatikannya.

“Enggak...” Ia menggeleng, “Enggak apa-apa kok. Sudah kita tidur saja, yuk.” Jawabnya menghibur.

Dari sudut mataku, aku lihat matanya terpejam sambil meringis. Pasti sakit sekali pukulan orang itu siang tadi, pikirku. Aku mengeluh dalam hati. Ingatanku mengembara lagi.

Siang tadi, ketika mencari barang-barang bekas, tanpa sengaja kami melewati rumah makan besar. Dari balik kaca, terlihat orang-orang yang sedang makan. Satu demi satu potongan ayam goreng masuk ke dalam mulut mereka, dan mereka tampak sangat menikmatinya. Namun, tidak tahu mengapa penjaga rumah makan itu tiba-tiba keluar dan marah-marah pada kami. Ia bahkan mendorongku keras-keras sampai aku terjerembab. Kakaku sangat marah melihat aku terjatuh. Ia menyerang orang itu dan menggigit lengannya keras-keras.

“Aaaaaaah...anak gila!!” Teriaknya.

Saat itu aku melihat tangan orang tersebut melayang ke punggung kakak yang segera tersungkur. Sesaat kami jadi tontonan orang yang lewat, hingga seorang laki-laki yang berpakaian rapi keluar dari rumah makan dan mengusir kami.

“Orang itu jahat, ya Kak.” Kataku sedih. “Kalau aku sudah besar, ia akan aku pukul, supaya punggungnya juga merasa sakit!” Ujarku.

“Adek...adek.” Ia menggumam. Matanya menatapku ramah. Entah mengapa aku selalu merasa bahwa dibalik matanya tersembunyi bintang-bintang yang selalu bersinar terang.

“Kalau Adek sudah besar, Adek harus jadi seperti matahari. Tidak pernah bosan memberi kebaikan pada siapa pun, bahkan kepada orang-orang yang jahat. Yang cahayanya membuat bulan menyinari malam. Adek pun harus dapat menerangi kegelapan. Adek harus jadi anak yang baik, sabar, dan kuat.” Katanya pelan sambil tersenyum.

Aku tidak pernah mengira bahwa itu adalah saat terakhir ia berbicara panjang lebar kepadaku karena beberapa jam kemudian dalam lelapku, antara sadar dan tidak, aku mendengar tangis pelannya menahan sakit. Tangis yang perlahan-lahan lalu menghilang berganti dengan diam yang tenang. Baru ketika azan subuh terdengar aku terbangun dan mendapatinya tertidur dengan wajah yang pucat. Betapa takutnya aku ketika kulihat di sudut bibirnya terdapat jejak berwarna merah. Serentak aku berdiri dan mengguncang-guncang tubuhnya, tapi ia tidak bergerak sedikit pun. Sama seperti emak waktu itu.

“Kak, Kakak...!” Aku menatap wajahnya , mungkin mata bintangnya akan bersinar lagi. Tapi Tidak. Mata itu tetap terkatup erat. Aku menggigil.

Aku mundur ketika terdengar suara-suara ribut di depanku. Titik fajar sudah nampak. Sebentar lagi kali ini akan ramai dengan orang. Satu-dua bahkan telah datang dan menatap ke arahku yang beridiri bingung.

“Hei, siapa itu?”

Aku terkesiap. Langkahku menyurut.

“Hei, tunggu...!”

Aku berbalik dan berlari. Oh, entah kenapa. Aku merasa sangat takut. Mereka mungkin akan menangkap dan memukulku seperti yang mereka lakukan pada kakaku. Aku takut....!

“Heeeii....!” Terdengar langkah-langkah berat di belakangku.

Aku berlari tanpa arah menyusuri lorong-lorong kampung. Meninggalkan orang-orang yang semakin ramai berdatangan ke kali. Cepat, dan semakin cepat aku berusaha berlari agar mereka tidak sampai menangkapku.

Langit mulai bersemburat jingga. Satu buah bintang besar bersinar. Oh, Ibu aku harus ke mana? Tanpa sadar aku melintasi jalan raya. Suasana subuh. Dan dari balik tikungan aku melihat sinar. Sinar terang. Seperti mata kakakku.

“Kakak....!” Aku tertegun sesaat. Lalu tiba-tiba saja aku merasakan tubuhku melayang dan terhempas keras.

Sayup-sayup kudengar seseorang berkata, “Gila lu, nabrak orang!” Lalu kosong. Tidak terdengar apapun. Badanku terasa sangat sakit dan sulit digerakkan. Aku hanya terbaring diam. Sesaat kemudian sayup-sayup kudengar nyanyian jangkrik dari balik rumput liar yang kian pelan. Samar di langit kulihat dua buah bintang, salah satunya bersinar terang. Aku yakin mereka pastilah emak dan kakaku.

Aku memejamkan mataku. Aku menangis kesepian.

Buat adik-adikku
“generasi Indonesia yang tercabik-cabik di pinggir jalan”
===============
Vani Diana Puspasari