Selasa, 29 Desember 2009

Puisi Akhir Tahun part 2

izinkan aku berpuisi

Puisi Akhir Tahun

Aku Menyaksikan


Aku menyaksikan cinta
menggamit pasrah
dalam kawah duka

seketika ia menyerobot menggedor-gedor jiwaku
menarik urat nadiku, mendubur otakku

aku menggelepar, klojotan!!
ampun, ampun kataku
ampun, ampun pedihku
ampun, aku tak kuasa, aku tak bisa
ampun…oh…..ampunn…

tajam matakupun buta seketika!!
aku tak sanggup melihat apapa

aku tak kuasa
menyaksikan cinta dalam bekam air

aku tak bisa
menyaksikan cinta dalam benam lumpur

aku tak hela
menyaksikan cinta dalam kejang sakaratul maut
yang menggertak setiap aku amnesia
hingga kemarahan malaikat menghumbalang alam
menggesekkan pinggang bumi hingga gempa menghunjam tak menyisakan apapa
menaikkan air di lautan, meruntuhkan angin di ketinggian
lalu melesakkan bumi di daratan

fabiayyi aala irobbikuma tukadzibaan

tuntun mataku dalam selembar kain kafanmu
agar mataku menyaksikan setiap kejap anak-anakku
yang telanjang dada, telanjang kaki
mengendap-endam mengetuk pintu rumahmu
dalam basa hujan untuk sekedar meminta sebiji beras
yang ditanak dalam bejana air matanya yang panas

tuntun mataku untuk menyaksikan
zikir penghabisan berjuta-juta kaum fakir miskin
yang sujud merundud menagih sedekah
yang semestinya tak perlu ia katakan

tuntun mataku menemui ajalmu
yang terbaring bujur menyentuhi ikhlasmu
dalam doa, dalam sabar,
dalam cinta, sedalam matamu

aku berserah diri
karena takdirMu aku mati

aku tak akan meratapi
karena aku lupa berterima kasi

bumihanguskan aku diduniamu
jika engkau ingin menghukumku
tapi jangan engkau biarkan aku
tak mengecap kelembutan tangan cintamu

sungguh, aku merindukanmu
walau aku tak menyaksikanmu
aku tak menyaksikan ap apa

Puisi Akhir Tahun

Di Penghujung tahun ini, ku hanya mampu menatap kilas balik kahidupanku

Setahun telah berlalu, ku cari refleksi diri, dimana resolusi..

Ah..waktu begitu cepat berlalu…

Seakan tak biarkan ku bernafas lega..

Melawan gejolak asa

Menahan kemelut jiwa

Hingga di penghujung tahun

Ku tatap langkah terlalui

Semua buram, hitam, gelap tanpa cahaya..



O Diri…

Tataplah dirimu…tataplah lakumu

Bercerminlah, lihatlah disana…kau kah yang disana

Wajah kusut dan bermuram durja

Langkah angkuh dari sekeping jiwa yang ringkih, lemah dak berdaya

Apa yang akan kau banggakan dengan dirimu

Apa yang akan kau perbuat dengan masa depanmu???



O.Diri

Renungkanlah…

Cita-cita yang kandas…keinginan yang buyar

Harapan yang buncah, dan janji yang kau abaikan

Aku geram..kesal…marah



Setahun, dua tahun, tiga tahun, terlalui dengan sia-sia

Sudah berbuat apa saja aku ini

Masa yang begitu berharga

Ku biarkan terbang, lenyap, melayang

Lalu…akan kemana hidupku ini

Airmatapun, habis, kandas tak tersisa

Namun sia-sia, tak ada guna



Sejenak ku terpaku…terdiam, ku pandangi langit kelam

Ku lihat gemerlap bintang, tersenyum menyapa, seakan mengajakku bercanda

Atau mungkin sedang tertawa, menatap diriku yang bodoh

Tapi ku dengar bintang itu berbisik...

”Hey...kemana langkah mu kan kau teruskan?

”jangan biarkan dirimu larut dalam kubangan penyesalan atas kegagalan,

”jangan biarkan dirimu terkubur dalam mimpi yang tak mungkin kau raih”

”bangkitlah..masih ada hari esok, masih ada mentari pagi”

“berdirilah, berlarilah..kejarlah sejuta mimpi lain yang masih menanti”



Ku menunduk, meresapi setiap detik yang kini berlalu

Menikmati setiap tetes darah dari goresan luka kehidupanku

Namun ku tersenyum...ku mengangguk

Ku setuju pada bintang...

Yah..masih ada secercah harapan

Walau semua masih mistery

Masih ada pagi yang cerah

Tuk menguak awan yang hitam

Pagi..Jemputlah aku..dengan masa ku menanti Penuh rindu….

Minggu, 27 Desember 2009

kepada diriku,,kubertanya...

Wahai diri!
Di mana dirimu yang rajin mengaji?
Kenapa jarang kudengar lagi lantunan ayat-ayat darimu?
Kenapa jarang kulihat kau sentuh kitab sucimu?

Wahai diri!
Di mana dirimu yang gemar berjama’ah?
Kenapa di shaf longgar itu tak lagi kutemukan kau dengan mudah?
Kenapa tak kudengar lagi dzikirmu di masjid dan mushalla?

Dia [tak] Bisa mati

Golden Water bukanlah kota dengan airnya yang kuning keruh seperti emas mengaliri sungai, parit, dan selokan. Tapi, sebuah kota yang penuh dengan bangunan-bangunan dan jalan-jalan indah yang setiap terkena cahaya akan bersinar menyilaukan bagai kerlipan emas berlian. Tata kota yang modern menjadikan kota Golden Water tetap indah dipandang. Setiap kawasan-kawasan yang ada terpisahkan dalam jarak yang jauh, tapi terdapat jalur transportasi yang lancer. Ada kawasan pemukiman, pertokoan, perindustrian, perkantoran, taman kota dan hiburan, serta pusat kesehatan. Dengan menerapkan tempat parker yang sempit, mampu membuat warga kota memilih memakai kendaraan umum.
Kemajuan ini tak terlepas dari jasa Sang Pahlawan –begitu julukan yang diberikan oleh warga, ada pula yang menyebutnya Sang Pemberi, Sang Pemurah- yang tinggal di sebuah gedung megah dan tinggi yang sering disebut “Aras”.
***

Pagi itu, seperti biasanya, Panji –seorang siswa SMA- telah berdiri di halte bis di depan rumahnya bersama beberapa orang. Sinar matahari kerlap-kerlip bagai permata menari-nari di permukaan aspal yang basah oleh hujan semalam. Pukul setengah delapan, tepat sesuai jadwal- sebuah bus bercat kuning berhenti di halte. Dengan teratur, pata penumpang naik dari pintu belakang dan turun dari pintu depan. Tak berapa lama, bus itu meluncur nyaman.
Pemukiman penduduk di kanan kiri jalan telah berganti menjadi taman kota yang luas dan asri. Lalu, berubah menjadi gedung-gedung perkantoran bertingkat. Sebelum akhirnya sampai di depan sekolah yang ia tuju. Jauh di ujung jalan terdapat pusat hiburan remaja, sesudahnya baru akan ditemui kawasan industri yang bising dengan deru mesin-mesin.
Masih ada waktu seperempat jam sebelum jam pertama dimulai pada pukul delapan. Tak berbeda dengan siswa lain, Panji segera meminjam buku kepada temannya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Pemandangan ini menjadi salah satu potret buruk remaja kota yang mempunyai semboyan “Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Titi Tenterem Kertaraharja, Tukul Tanpa Tinandur, [Pinter Tanpa Sinau]”.
***

“Nanti malam ada rencana pergi kemana?” tanya Angga. “Bagaimana kalau kita ke Warung Remaja?” usulnya.
“Ide Bagus,” cetus Sarah.
“Tapi, kita masih ada tugas sekolah yang harus diselesaikan,” sanggah Panji.
Semua saling melempar pandangan, mencoba mencari jalan keluar.
“Ok! Begini saja, kita ngerjain tugasnya bareng-bareng di rumah Panji,” usul Yordan. “Setelah selesai barulah kita ke Warung Remaja. Gimana?”
Akhirnya, keenam siswa yang duduk melingkari meja bundar di kantin itu memutuskan untuk mengerjakan tugas bersama-sama. Tidak ada yang sulit jika ditanggung bersama, semboyan mereka.
***

Malam telah tiba, Panji duduk berkelakar di lantai kamar. Bersandar pada tempat tidur yang dirapatkan ke dinding. Matanya lekat menatap layar laptop yang memendarkan cahaya biru ke wajahnya. Dengan sekali menekan tombol “Enter” di keyboard, layar terbagi menjadi dua bagian sama besar. Masing-masing memunculkan gambar teman-temannya yang berada di dalam mobil. Dalam perjalanan ke rumahnya, pikir Panji.
“Sabar, Say,” ujar Sinta sembari mengerlingkan mata, genit. Ia duduk di bangku belakang. “Sebentar lagi kami sampai.”
“Yup!” seru Yordan di dalam mobil lain. Mengiyakan perkataan Sinta.
“Baiklah! Tapi, jangan terlalu lama. Keburu tugasnya aku selesaikan dulu,” canda Panji disambut tawa teman-temanya.
“Daaaaaah,” seru Sinta melambaikan tangan. Seketika gambar mereka hilang dari layar.
Beberapa saat kemudian, terdengar pintu diketok.
“Sebentar!” seru Ibu dewi –ibunda Panji- beranjak ke depan.
“Malam, Tante!” sapa Sinta, Angga, Yordan dan teman-temannya serentak.
“Malam! Ayo, masuk! Sudah ditunggu Panji di kamar,” balas Ibu Dewi.
Panji yang sedang duduk terdiam sedikit kaget saat pintu kamarnya dibuka dan terdengar seruan Angga, “Hai!! Sudah dikerjain semua, kan?” dengan senyum lebar di bibirnya.
“Kurang ajar, kamu!” Panji balik berseru.
“Ayo! Ayo!!” seru Angga menepuk-nepukan tangannya memberi semangat kepada teman-temannya. “Saatnya beraksi!!”
Tanpa pikir panjang, semua mengambil posisi duduk. Sinta duduk di samping Panji, tak lupa ia mendaratkan satu kecupan di pipi kekasihnya itu.
Mereka berusaha menyelesaikan tugas sekolah dengan segenap kemampuan yang mereka miliki. Sementara itu, malam semakin larut. Dari jendela, langit di luar terlihat hitam, tapi lampu-lampu di penjuru kota semakin bertambah terang. Menggambarkan kehidupan kota yang tak mati walau di malam hari.
Satu-satunya jam dindind di kamar itu yang ditempel di dinding tepat di atas sebuah layar digital yang memenuhi hampir seluruh dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
“Ayo!! Semangat! Semangat!!”seru Angga. “Waktu kita hampir habis.”
“Pikiranku butuh refreshing, nih,” eluh Sarah. “Pergi ke Warung Remaja sekarang, yuk?”
“Nggak bisa begitu. Kita harus tetap poada kesepakatan kita,” balas Angga. “Selesaiakan tugas, baru kemudian pergi,” tegasnya.
Satu jam kemudian.
“Huh,” eluh Yordan merebahkan badan ke lantai.
“Ayolah, kita sudahi saja,” pinta Sarah. “Pikiranku sudah hampir meledak. Lihat, sudah pukul setengah dua belas, kapan kita ke Warung Remaja?”
“Iya, nih,” Angga ikut-ikutan. “Kita pergi sekarang saja, gimana?”
Taman-tamannya mengangguk, kecuali Panji yang masih serius.
“Gimana, Ji?”
“Sedikit lagi selesai. Tanggung kalau berhenti sekarang.”
Annga memberi isyarat kepada Sinta untuk membujuk Panji.
“Say, sudah larut, nih. Kapan perginya?” rayu Sinta. “Lagi pula, sisanya bisa dikerjakan besok di sekolah. Pasti ada teman-tamn yang ngerjain.”
Panji berhenti membaca buku. Sekilas menatap wajah kekasihnya. Memejamkan mata, menjernihkan pikirannya sejenak. “Baiklah!” serunya singkat.
“Yessss!!!” teriak Yordang penuh semangat. Bangkit.
“Ayo, siapkan diri kalian untuk aksi sesungguhnya!!” Angga ikut-ikutan teriak. Dibalas penuh gairah oleh teman-temannya.
Sejurus kemudian, mereka telah berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan suara musik. Puluhan orang menari-nari di bawah kerlap-kerlip lampu diskotik. Malam yang larut membawa hati semakin hanyut. Seteguk demi seteguk minuman beralkohol menghangatkan tubuh, membuai pikiran yang lusuh.
“Dan!!” seru Panji.
Yordan masih asyik menari, tak menghiraukan panggilan Panji yang tenggelam dalam alunan musik. Panji mendekati Yordan. Menyusuri kerumunan. Ia memukul pundak Yordan. “Teman-teman yang lain, mana??!”
Yordan hanya mengangkat bahu, lalu menari lagi.
Dengan sedikit keras, Panji menarik tubuh temannya. “Ayo, kita cari mereka!”
Tak butuh waktu lama, Panji menemukan teman-temannya. “Mana Sinta?!” tanyanya menyadari Sinta tidak bersama mereka.
Sarah menunjuk ke arah kursi di samping bartender, tepatnya ke arah gadis yang sedang duduk sendiri di sana, Sinta. Segera panji melangkahkan kai ke sana. Baru setapak ia melangkah, tangannya ditahan oleh Sarah.
“Menari denganku, yuk?” ajak Sarah.
Ia segera membuang tangan Sarah. Terus berjalan, meninggalkan Sarah yang terlihat kesal.
“Cukup, Sin!” tangannya menahan gelas di tangan Sinta. Kemudian memapah tubuh kekasihnya di pundak. Ia memberi isyarat kepada teman lain untuk pulang.
Suasana ruangan yang berisik, membuat mereka tidak menyadari bahwa hujan deras telah turun sejak lama. Mereka hanya berdiri di depan pintu, memandang ke arah tempat parkir yang tertutup kabut hujan. Sementara, Sinta terus-terusan mengigau karena mabuk berat.
“Salah satu ambil mobil, cepat!” perintah Panji sedikit kesal.
“Apa??!!1” seru Yordan. “Apa kamu nggak lihat hujan deras ini?”
“Iya, kita balik ke dalam saja,” ujar Sarah.
“GILA!! “ seru Panji. “Lihat kondisi Sinta. Apa kalisn tidak lihat? Cepat! Ambil mobil!”
“Haiiiiiiiiii… hk..hk..hk.. Kenapa panik seperti itu? Aku tidak apa-apa. Hk…hk.. Sama hujan saja takut. Heeh, hujan itu tangisan alam. Tangisan hewan. Tangisan manusia. Tangisan kita he..heeee…heeeee,” igau Sinta.
Panji tampak kesulitan menopanh tubuh Sinta yang berpolah aneh. “Ambil mobil, sana! Jangan bengong saja.”
Malam yang telah larut membuat mereka tidak bisa melewati jalan yang sama, yang mereka lewati saat bernagkat. Sebab, bila telah lewat tengah malam, jalan di sekitar pertokoan ditutup untuk semua jenis kendaraan. Begitu juga jalan di sekitar kawasan industri. Entah untuk tujuan apa. Mereka terpaksa menempuh jalur yang memerlukan waktu lebih lama.
“Lihat!!!!!” seru Sinta mengagetkan semua yang ada di mobil. Tangannya menunjuk ke arah bangnan tinggi dengan nyala lampu terang di puncaknya. Itu lah Aras, tempat Sang pahlawan tinggal.
“Dasar orang mabuk,” gerutu Sarah di bangku depan.
“Siapa yang mabuk, hah?” ucap Sinta. “ Aku nggak mabuk, iya kan, Say?” suaranya merendah melemparkan pertanyaan ke arah Panji. Hanya dibalas anggukan. “Mau Bukti!!” serunya lagi. “Ha…haaa…haaaa…,” ia tertawa melihat muka teman-temannya yang kaget. “Kamu pasti nggak tahu, di mana Tuhan berada? Hk….hk…hk… Seperti kata guru kita, Tuhan berada di tempat yang tinggi. Di sana, di tempat itu. Heeee…heeeee.heeeeee.” Tangannya kembali menunjuk ke arah Aras.
“Orang kagak waras,” ucap Sarah bergidig.
***

Beberapa hari kemudian, di siang hari yang terik, sejak pulang sekolah sepermpat jam yang lalu Panji belum beranjak dari kamarnya. Yah, udara siang itu memang seakan-akan tidak mendukung manusia untuk berkatifitas di luar rumah. Udara kering. Membuat semua orang mengantuk. Padahal, setiap malam hujan selalu turun deras. Entah apa yang aneh pada kota Golden Water.
Tiba-tiba terdengar tanda dari laptopnya memberitahu bahwa ada temannya yang sedang online. Beberapa saat kemudian disusul tanda lain beberapa kali, ada pesan masuk. Dengan malas, dijulurkan tangannya meraih laptop di meja. Ada pesan dari Sinta:
Angel: ”Say, kata Angga, ada banyak orang berkumpul di depan Aras
Sampai ribuan
Coba kamu datang ke sana. Cari informasi
Berita tentang Aras pasti akan membuat Mading kelas kita bagus.
OK!

Dengan wajah lusuh dan tubuh acak-acakan, ia keluar rumah. Menginjak pedal gas mobil dalam-dalam. Ia tiba di depan Aras bersama Sinta yang ikut karena ia paksa.
Benar apa yang dikatakan Angga, ribuan orang berkumpul di depan Aras.
“Mau kemana?” tanya Sinta melihat Panji mencoba masuk ke kerumunan orang.
“Bukankah kita ke sini mau mencari berita?”
“Tapi, di sana berbahaya.” Meskipun taku, Sinta mengikuti Panji, menggenggam erat tangan kekasihnya.
“Lari! Lari!!!” seru beberapa orang di depan.
Spontan, kerumunan massa mulai bergerak keluar halaman Aras.
“Petugas memaksa kita keluar!!” teriak yang lain.
“Kalau tidak ingin mati, cepat lari!!” teriak yang lain lagi.
“Say, ayo kita balik!” seru Sinta ketakutan.
Tapi, sebagai remaja yang diselimuti rasa penasaran membuat Panji terus bergerak maju, melawan massa.
“Say!!” Sinta menampik tangan Panji. “Kamu sudah gila!!”
“Kalau kamu tidak mau bersamaku, silakan ikut berlari dengan orang-orang.”
“Bukankah kamu yang memaksa aku untuk ikut. Sekarang kamu membiarkan aku. Pokoknya kamu harus mengatarkan aku pulang,” suara Sinta mulai gemetar tanpa menghiraukan tekanan yang datang dari setiap sisi.
“Terserah kamu!!” balas Panji. Ia tak memperdulikan Sinta. Terus berusaha maju. Namun, tangannya tertahan oleh Sinta.
“Ji!”
Seketika, Panji menatap wajah Sinta. Ia mendapati wajah kekasihnya mulai nasah oleh air mata. Mata lentik Sinta berkaca-kaca, terlihat jelas di bawah sinar matahari. Panji tertegun.
“Aku khawatir dengan keadaanmu. Kau dengan teriakan orang tadi,” suara Sinta tersedu-sedu. “Aku tidak ingin kamu terluka. Apa lagi kalau sampai kamu tiada.”
Hati panji yang keras, luluh oleh linangan air mata Sinta. Tangannya menyeka tetes demi tetes air di pipi kekasihnya. Mereka berdua tak peduli pada keributan yang semakin menjadi.
Dalam kondisi masih menangis, Sinta berujar,” Aku sayang kamu.” Merebahkan diri ke pelukan Panji. “Aku cinta kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu,” ucapnya manja.
Satu kecupan Panji mendarat di kening Sinta. “Maafkan aku,”tanagn Panji mengusap rambut Sinta yang terurai sebahu.
Di kedua bibir Sinta merkah senyum indah.
“Ayo, kita pergi! Untuk apa berada di tempat sera mini!” seru Panji sembari melangkah menjauhi Aras.
“Sang Pahlawan telah mati!”
“Sang Pemberi telah mati!!”
“Sang Pemurah telah tiada!!”
Teriakan itu menemani langkah mereka berdua.
***

Panji terdiam di sofa depan. Matanya memandang jauh menembus langit malam yang hitam. Pikirannya masih di selimuti rasa penasaran atas peristiwa tadi siang. Apa sebenarnya yang terjadi? pikirnya. Rasa penasaran itu membuat melangkahkan kakinya ke bagasi mobil. Tidak peduli pada mitos yang tersebar. Malam ini, malam Jum’at Kliwon. Dengan purnama yang bersinar cerah. Malam paling seram dalam mitos kota itu.
Tak berapa lama, ia telah tiba di depan Aras. Segera ia memarkirkan mobilnya di tempat sepi. Matanya memandang nanar di puncak gedung tinggi yang bisanya terang oleh cahaya lampu, tapi tidak untuk kali ini. Kondisinya gelap gulita, tanpa penjaga.
Dengan sedikit keahliannya, ia mampu masuk ke gedung utama. Tanpa pikir panjang, ia menaiki anak tangga satu demi satu. Dengan nafas terengah-engah, ia membuka ruang utama tempat Sang Pemberi berada. Tidak seperti yang dikatakan orang tadi siang, pintu itu tidak terkunci. Perlahan ia mendekati sebuah meja yang tersinari cahaya rembulan. Matanya tertuju pada secarik lipatan kertas yang tergeletak. Kali ini ia menata nafasnya terlibih dahulu, mencoba mengubur rasa takut, khawatir dan gelisah, mengumpulkan keberanian untuk membukanya. Ternyata pesan dari Sang Pahlawan.
***

Hai, anak muda!
Seketika tubuhnya merinding. Seakan-akan surat itu bersuara. Yah, terdengar jelas suarnya. Menancapa dalam di dinding-dinding hatinya. Namun, ia tetap melanjutkan membaca tulisan yang ada di sana.
Mungkin kamu mengira aku sudah mati. Atau, kamu mendengar orang-orang meneriakkan kata-kata bahwa aku telah mati. Sebab, aku sudah tidak lagi membagi-bagikan rezeki. Tak lagi memcukupi kebutuhan kalian yang tak tercukupi.
Salah!! Itu prasangka yang sangat keliru. Aku tak mau kamu, wahai pemuda, terjerumus dalam hal-hal semacam itu. Ketahuilah! Aku tidak mati. Aku hanya pergi. Yah, hanya pergi.
Panji berusaha meyakinkan dirinya bahwa bukan surat itu yang mengeluarkan suara, tapi kata-kata itu terdengar jelas di telunga. Tapi, kenapa ia pergi?
Lihat ke sebelah kanan.
Panji pun menoleh ke arah kanan, berjalan mendekati jendela. Dari sana, ia dapat melihat cahaya pulan purnama yang sempurna menyinari gedung-gedung megah kotanya. Bagai kota yang terbuat dari emas. Kilau cahayanya ada di mana-mana.
Tahukah kamu, bagaimana keadaannya dulu???
Kini, cobalah pandang sebelah kiri
Panji menuju sisi lain ruangan itu. Dari jendela di sana, ia dapat melihat cahaya lampu terpancar tinggi menembus langit di malam sunyi. Ia kenal dengan tempat itu. Yah, Warung Remaja tempat ia selalu menghabiskan masa-masa bersama teman-temannya.
Tahukah kamu keadaannya dulu???
Kini, aku pergi. Tak peduli lagi akan apa yang terjadi dengan kota ini.
Di bagian bawah pesan itu tertulis beberapa coretan. Ia tahu itu pesan dalam bahasa Arab, tapi huruf-huruf itu terlalu asing baginya. Terlalu sulit untuk memahami.

Kamis, 24 Desember 2009

Perkembangan Nasyid

Barangkali, banyak yang menganggap Islam dan seni suara adalah dua hal yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Padahal, jika ditarik sejarahnya ke belakang, sesungguhnya upaya kreatif menghadirkan ruh Islam pada dunia seni suara telah telah berlangsung lama, bahkan sejak masa Rasulullah. Sebagai contoh, syair "thola'al badru 'alaina" (telah muncul rembulan di tengah kami) -- yang kini kerap dinyanyikan tim kasidah dan majelis taklim -- adalah syair yang dinyanyikan kaum muslimin saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW. untuk pertama kali ke Madinah.


Perjalanan kreatif tersebut terus berlangsung hingga kini. Pada perkembangannya, seni yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan nasyid tersebut, baik warna musik maupun temanya terus mengalami pergerakan, sesuai dengan situasi dan kondisi zaman yang juga terus berkembang.

Di Indonesia, fenomena perkembangan nasyid mulai telihat sejak era 1980-an. Bisa dikatakan, gaungnya banyak dibantu oleh perkembangan nasyid di Negeri Jiran, Malaysia. Awalnya, para penggiat nasyid di Negeri Jiran, Malaysia. Awalnya, para penggiat nasyid di tanah air lebih banyak membawakan nasyid berbahasa Arab yang lahir dari Timur Tengah atau nasyid Malaysia. Berikutnya, mereka mulai menciptakan lagu sendiri, yang sebagian besar tentunya berlirik Indonesia.

Jika diamati, tema-tema yang dihadirkan oleh nasyid tanah air itu sangat beragam. Tak hanya masalah seperti jihad, misalnya, tetapi juga masalah-masalah lain, dari mulai masalah sosial, persoalan pernikahan atau rumah tangga, dan banyak lagi. Yang pasti tak sedikit nasyid yang mencoba merespons berbagai peristiwa aktual yang terjadi, baik di Indonesia maupun dunia (Islam) secara lebih umum.

Hasilnya, nasyid makin mengemuka. Kelompok baru pengusung nasyid terus bermunculan. Nama-nama grup seperti Snada, Suara Persaudaraan, Izzatul Islam, As Syabab, Harmoni Voice, Sam Abdullah, Bijak, Brothers, dan masih banyak lagi, cukup dikenal di kalangan penikmat nasyid. Belum lagi grup-grup yang lebih bersifat lokal, seperti yang hadir di kalangan Remaja Masjid, Rohis sekolah (SMP/SMU), atau kampus.

Kendati perkembangan nasyid di tanah air masih terbilang belia, terbukti mampu menunjukkan gairah besar. Boleh jadi, sambutan antusias tersebut seiring dengan makin meningkatnya kesadaran sebagian remaja di kalangan sebagian remaja dan pemuda. Semangat keberislaman di kalangan sebagian remaja dan pemuda. Semangat keberislaman itulah yang didalam dunia seni antara lain diejawantahkan ke dalam nasyid, baik itu yang hanya mengapresiasi maupun yang sekaligus berkreasi.

Kontribusi Bandung

Berbicara perkembangan nasyid di tanah air, kontribusi Bandung tak bisa di kesampingkan. Sejak dulu, Bandung memang telah dikenal sebagai salah satu kiblat musik Indonesia. Sebagai contoh, pada era tahun 1970-an majalah musik pertama di Indonesia, yakni Aktuil lahir di Kota Bandung. Ternyata, kontribusi Bandung terhadap perkembangan musik nasyid pun sangat besar.

Grup nasyid yang lahir di Bandung terbilang sangat banyak, terutama sejak pertengahan tahun 1990-an. Mereka tumbuh dan berkembang dalam berbagai acara pentas dan festival atau perlombaan. Tidak sedikit diantaranya yang kemudian sukses mencetak album, meskipun lingkup pemasarannya masih terbilang terbatas dan dikelola secara independen. Hal lain yang sangat membantu mereka adalah kehadiran radio-radio yang memberikan ruang cukup bagi kehadiran nasyid. Bahkan, ada radio yang mengkhusukan diri untuk musik nasyid, seperti MQ FM.

Seperti halnya nasyid di daerah lainnya di Indonesia, nasyid di Bandung juga secara umum banyak dipengaruhi nasyid dari Timur Tengah dan Malaysia. Menurut Ass. Program Director Radio MQ FM, Nugraha Al Afghani Nur Musthofa, jenis nasyid yang berasal dari Timur Tengah lebih bernafaskan perjuangan. Tujuannya untuk meningkatkan semangat jihad di kalangan umat Islam. Sementara itu, nasyid yang berasal dari Malaysia, umumnya lebih luas cakupannya. Nasyid menjadi sarana penyeru kebaikan dengan pemaknaan yang lebih lapang.

Rupanya, kehadiran nasyid-nasyid dari luar negeri ikut memacu penggiat nasyid di Kota Bandung untuk melahirkan karya-karya sendiri. Kelompok nasyid Harmoni merupakan salah satu pelopornya dengan karya-karya mereka yang bergaya acapella. Sayangnya, kelompok ini sekarang sudah bubar. Kendati demikian, tidak berarti nasyid di Bandung lantas tenggelam. Bahkan, nama-nama baru makin banyak bermunculan, seperti Mupla, The Fikr, Hawari, dan banyak lagi.

Belakangan, perkembangan nasyid di Bandung tambah pesat saja. Hal itu tidak lepas dari keberadaan media, khususnya radio-radio yang memberikan ruang yang lebar untuk kehadiran nasyid. Bahkan, sejak 1999, berdiri Radio Ummat Daarut-Tauhiid yang saat itu menjadi satu-satunya radio yang memilih nasyid sebagai basic musik dari jenis aliran musik yang mereka suguhkan.

Pada perkembangan berikutnya, karena tuntutan kebutuhan teknologinya, Radio Ummat yang bergerak di jalur AM pindah ke gelombang FM dengan nama yang berganti menjadi Radio MQ 102,65 FM. Perpindahan ini menyebabkan jangkauan pendengar lebih mendukung perkembangan nasyid.

Seiring dengan perkembangan nasyid, disamping adanya penggarapan tema yang makin dalam dan luas, balutan musik yang disajikan pun makin variatif. Jika pada awal perkembangannya nasyid lebih cenderung pada komposisi sederhana dengan alat-alat perkusi saja, kini jauh lebih variatif. Jadi, jangan heran jika sekarang ada nasyid yang berirama pop, rock atau bahkan R&B.

Salah satu contohnya adalah Nanda Nasyid. Kelompok nasyid yang terdir dari enam personel ini mengusung aliran musik pop progressif dengan sedikit sentuhan R&B. Meski baru muncul pada April 2003, kelompok ini mendapat sambutan luar biasa dari pencintanya. Salah satunya terbukti dari kemampuan mereka menjadi "jawara" tiga pekan berturut-turut di acara Top Ten Request MQ FM.

Dengan segala perkembangannya, nasyid telah membawa fenomena yang menarik. Keberadaanya di Malaysia yang telah sejajar bahkan mengungguli musik pop merupakan sebuah pencapaian yang sangat bagus, apalagi untuk musik yang membawa spirit khusus seperti nasyid. Di Indonesia, tampaknya, perkembangan nasyid belum sepesat itu. Namun, adanya radio yang khusus memutar nasyid, album-album nasyid makin banyak dipasarkan meski sebagian masih besar indie label, gaung nasyid yang tak hanya terasa pada bulan Ramadhan, televisi yang tak segan-segan lagi memutar nasyid, adalah beberapa fakta yang menunjukkan bahwa nasyid mengalami perkembangan yang cukup positif.

Lantas, bagaimana dengan nasib nasyid selanjutnya ? Tentunya hal ini sangat bergantung pada kreativitas para seniman nasyid dan barangkali juga semangat religi dari para penikmat musik.

Selasa, 22 Desember 2009

Sebuah Tanda

Digemeliang air mata
sendu sedan yang ngilu di sendi-sendiku
antar do'a tak terhingga, aku kan mengantar raga



kalian mengutir semangat yang merapuh keseluruh sudut lumbung terpuruk, menghela nafas yang mengaduh.
kalian menggulirkan butiran bening air mataku diselongsong keletihan menyempit, menyela otak menggaram

mungkin egoku tak kenal massa
pagikah? , siang terik mengangah, sore melandai, ataukah melam meredup
sematkan rambu-rambu yang tak kenal cahaya
kalian tak usai mengingatiku
sesering apakah aku terjatuh berselimutkan nikmat kesakitan
sesering itulah wajah kalian merapat di jantungku
menghembuskan bait-bait dzikir
menyumbangkan seorgan untuk kerongkonganku
kalian tak kenal jam, menit bahkan detik yang selalu terhitung
tongkatku tanda bisu untukmu
aku tak pernah meragu
terseduh terimakasih mendalam, sebagai sebuah tanda
maafkan aku

Ibu dan bidadari dalam kesunyian


Oleh Rahmat Subhan

Al-kisah seorang gadis kecil terlena dalam buaian ibunya,
Yang tersenyum di malam hari ketika dininak bobokan
Dan dinyanyikan lagu-lagu tentang kehidupan masa dulu.
Berjalan menerobos angin dengan tertatih-tatih diatas tanah retak tak berdebu.
Begitu jauhnya terkadang merayap meraba mencoba bangkit dari kegelapan.
Kadang dia tersenyum mencoba menghibur orang-orang yang ada di sekitarnya,
Kadang dia menangis mencoba merayu ibunya ketika berada di dapur memasak bubur nasi untuk makan malamnya.

Hari begitu panjang terasa,
Orang-orang sekitar tetap saja tersenyum padanya
Memberikan sebungkus roti pengganjal perut.
Dia tidak tahu harus mengucapkan apa,
Hanya tersipu malu bercampur takut kemudian memeluk ibunya.
Kadang dia menangis takut ada suara ayam berkokok disubuh hari
Dan sesekali mengeluarkan kotoran di duburnya.
Sang ibu tidak tahu harus berbuat apa,
Yang bisa dia lakukan hanyalah memberikan air susu didadanya
Sesekali menggendongnya dengan hati–hati
Dan penuh kasih sayang mengeluarkan lagu – lagu tentang kehidupan
masa lalu.

Hari–hari panjangpun ikut terhanyut dalam belaian sang ibu,
Seorang gadis kecil berwajah cantikpun tumbuh menjadi bidadari syurga
Yang siap menyapa manusia–manusia dalam syurga dan neraka.
Berdiri kokoh menjadi bahan sorotan dunia– dunia jahanam.
Berjalan keliling dunia melewati segala kesenangan–kesenangan
tak terhingga,
Menyapu seluruh warna–warna hitam menjadi abu–abu,
Menjaga segala kelestarian alam yang ada dihadapannya.

Sang ibu mudapun menjadi tua keriput tak berdaya
Melihat sang gadis kecilnya tumbuh menjadi bidadari penerang jagat raya.
Menangis dimalam hari …Mengadu…
Kemanakah anak ku dulu yang kucium, kupeluk, kubelai dengan kedua
tangan kasarku,
Di manakah dia sekarang yang awalnya selalu tidur bersamaku
ketika malam telah tiba,
Tertawa bersamaku ketika kugelitik lehernya dan mengucapkan mama… mama… mama…
Yang selalu meminta uang jajan pada saat pagi hari saat berangkat sekolah,
Yang selalu mengadu ada anak nakal menggodanya ditengah jalan ketika dia pulang sekolah?
Ke manakah dia…
"Anakku… aku rindu kumemeluk dirimu di malam hari".
Tangisannya yang begitu keras dan perkasa terus mengadu…
Berharap bidadari itu mendengarnya dan berlari mengucapkan kata "mama".
Malam–malampun terus menjadi malam seperti halnya ayam jantan berkokok disubuh hari menggoda ayam–ayam betina mengeram telurnya.
Malam – malam teriakan itupun menjadi sangat keras dan tidak menjadi
sebuah tangisan yang berarti di mata dunia.
Tidak ada air mata…
Yang ada hanyalah tangisan darah yang menggebu – gebu dalam nadi–nadi tersumbat.

Kamis, 10 Desember 2009

Syair Pagi

Syair Pagi

apabila berkas bening cahya mentari

menghangatkan kaca jendela yang dingin

saat itulah cemburuku tercatat

pada sisa rembulan yang pucat

aku akan membukakan pintu

bagi embun yang mengepul di permukaan batu

dan mengajaknya mencicipi kopi

sebelum angin berkesiur pergi

apakah kita akan ngobrol tentang prenjak

atau derit batang nyiur yang nyaris patah?

sebelum rembulan pucat itu beranjak

ia jatuh berdebum di kebun sebelah

: daun-daunnya memang telah cokelat

dan embun, engkau pun akan segera pamit

untuk menitipkan cerita persinggahan semalam

ke kantung ingatan di kubah langit

: ah, rahasiaku

bukankah itu

yang telah kaugenggam?

kautinggalkan aku termangu

Rabu, 02 Desember 2009

Untuk Bidadari Kecilku

Anakku ........ engkaulah buah hatiku.
Kasih sayangku padamu tak terkikis oleh erosi zaman.
Kuselalu memandang wajahmu yang damai ....
Ketika engkau sedang tidur.
Aku tersenyum melihat senyummu, engkau pasti bermimpi indah.
Anakku ........
Aku selalu merasa bahagia mendengar ceria candamu,
Aku sering merasa cemas mendengar langkahmu berlari,
Aku takut engkau terjatuh,
Jantungku berdegup mendengar isak tangismu.
Aku tak ingin kau bersedih, aku tak ingin engkau dilanda nestapa.
Anakku ........
Kelak engkau beranjak dewasa, dan aku mulai tua dan pikun.
Tak banyak yang aku pinta.
Tetaplah sabar dan cobalah mengerti tentang diriku.
Kalau aku berlepotan ketika makan .... bersabarlah,
kenang saja ketika aku selalu mengajarimu tentang kebersihan.
Jika aku mengatakan hal yang sama ribuan kali kepadamu .... bersabarlah,
kenang saja ketika aku membacakan cerita yang sama ribuan kali sampai engkau tertidur.
Kalau aku tidak mau mandi, jangan salahkan atau marahi diriku,
kenang saja ketika aku membujukmu dengan seribu alasan agar engkau mau pergi mandi.
Kalau bicaraku melantur, janganlah gugup .... yang terpenting bukanlah omonganku, tapi
aku tetap bersamamu, yang mendengarkan kata-kataku.
Bila kakiku sudah berat untuk melangkah, jangan paksa aku berjalan,
ulurkan saja kedua tanganmu,
seperti aku lakukan ketika membimbingmu pada langkah pertamamu.
Suatu hari nanti kau akan tahu, di samping kesalahan-kesalahanku ..... aku ingin melakukan yang terbaik untukmu ... untuk jalan hidupmu.
Kau tak harus merasa sedih, marah atau tak berdaya melihat aku di sampingmu.
Cobalah untuk mengerti dan bantulah diriku,
seperti yang aku lakukan padamu ketika engkau memulai hidup ini.
Bila di suatu masa nanti aku berkata aku tak ingin hidup lebih lama lagi,
janganlah bersedih, cobalah faham ..........................
usia bagiku bukanlah hidup tapi hanyalah bertahan hidup.
Bantulah aku berjalan, tolonglah aku pada akhir hayatku.
Aku akan memberimu senyum dan cinta tak terhingga,
yang selalu kumiliki hanya untukmu.
Selamat tidur anakku, semoga Tuhan tetap bersamamu selalu...
"kelak kau akan mengerti apa yang terjadi saat ini...."
.....tingkle,,tingkle litle stal,,,,,,,itu lagu yang kau nyanyikan td malam sebelum tidur untuk mengusir lelah Abi mu ini,..."
meski dengan aksen kurang jelas anakku....
Ya Rabb lindungi buah hatiku selalu......

dedicated to : ZALFA THUFAILAH ERLANDA...