Minggu, 30 Agustus 2009

Hikmah bersyukur, bersyukurlah

Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis.




Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya …..
Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.
Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ‘’selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.
Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.
”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”.
Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja.
Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
– Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
– Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
– Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan saja dulu.
– Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.


– Pelajaran yang sangat menyedihkan.
 
(copy paste on ikhwah gaul)

Jumat, 28 Agustus 2009

Terima kasih untuk semua

hari ini, ingin kusampaikan untaian kalimat pada orang-orang, yang telah banyak memberikan pelajaran, hikmah dan kisah bersama.


Kepada ibuku, terima kasih atas segala kasih sayang yang diberikan.dan maaf, atas kemampuan mendengar, bukan banyak memberi pertimbangan seperti yang kau minta. Manusia mempunyai dua telinga dan satu mulut, maka manusia mungkin seharusnya lebih banyak mendengar daripada berbicara. Ibu, kau yang lebih tahu sebenarnya. Bagaimana akhirnya kita bisa melihat titik cerah diantara kelabu ini semua...sekali lagi, maafkan anakmu.untuk bidadari kecilku Zalfa,,maafkan bila abi mu tiada sempurna,,

Kepada ayahku, entah bagaimana aku tuliskan ini untukmu. Aku pandang engkau adalah pahlawanku dulu. Sekarang dunia telah berubah. Terima kasih atas nasehat-nasehatnya, dan ternyata hidup bukan masalah perjalanan umur, tapi kematangan berpikir dan bertindak. Maaf jika kita akhirnya harus menunda saat-saat yang kau minta. Tuhan tolonglah, sampaikan sejuta salamku untuknya...

Keluaga besarku, harapan atas itu semua harus aku pikul. Mohon do’anya selalu. . Mari menanam kebaikan-kebaikan, demi tujuan yang lebih hakiki.

Guru-guruku, orang paling besar dalam membentuk diri ini. Memberikan pelajaran kehidupan dan optimisme. Tidak bisa semuanya dinilai dengan materi, terima kasih atas waktu dan ketulusannya.

Saudara-saudaraku, idealisme yang menjadikan dunia ini terang. Atas semangat dan ketulusan yang kau ajarkan, terima kasih. Dunia bukanlah hitam-putih semata, mari kita melihatnya dengan lebih dalam dan dekat yang telah Allah anugerahkan. Sehingga kecemerlangan-kecemerlangan itu hadir ditengah-tengah kita, hingga semua umat mengagungkan nama-NYA.

Sahabat-sahabatku, anugerah terindah yang pernah kumiliki. Betapa hidup tak ada suasana tanpa kalian. Terima kasih atas kepercayaan, jabat tangan dan senyum-senyumnya. Maaf atas kelakuan, sakit dan sedih yang kutinggalkan. Jangan malu untuk meminta, walaupun aku tak kuasa melakukannya. Namun, letakkanlah tanganmu diatas bahuku, biar terbagi beban itu. Esok hari kan kita jelang, dalam keteguhan hati menuju cita-cita.

Teman-teman, kebersamaan selama ini membuat banyak cerita. Dimanapun kita nantinya, ingatlah bahwa kita pernah membuat sebuah kisah klasik untuk masa depan. Jangan terlalu larut dengan masalah, tetaplah menjadi bintang di langit.

Seseorang yang mengajarkan berpikir positif, dan telah menghidupkan kerlip-kerlip hati. Mari kita ingat, manusia pada dasarnya adalah cerita bagi manusia lainnya. Sedari awal ingin kusampaikan, aku hanya manusia biasa, bukan seorang dewa. Ingin memberikan kasih dengan sederhana. Europe is world today, semoga rumah diatas gunung dibawah langit dimulai dari sana. Allah Maha Memberi Keputusan.

Hanya ini yang bisa kuberikan pada semuanya, tak kurang tak jua lebih. Saat angka bertambah dan jatah hidup berkurang, tak ada kebahagian terbesar selain mengetahui orang lain bahagia karena kita. Semoga masa depan terbentang lebih baik...

untuk ummi andriani,,afwan khilafku selama ini..

Rabu, 26 Agustus 2009

Kuasa Illahi

KUASA ILLAHI.by: nanda nasyid

derai air mata, hapus canda tawasepikan hati, hampakan kembali
semua tlah hilang, tak akan terulang.tundukkan mata hatiku
peluh ratapmu kan menjadi saksi.
karena YANG ADA, PASTI KAN KEMBALI.
takdirmu kini adalah semata UJIAN dari illahi.
ya rabbi, akan ku syukurinikmat hidup yang tlah kau beri padaku.
sementara disana tumpahkan air matatangisi yakdirMu illahi.
ya rabbi tabahkanlah kami
tempuh ujian hidup yang tlah kau beri
tiada satu pun yang sanggup melebihisegala kuasaMu illahi
.dan senja berganti, kan lebih berarti
meniti langkah, jalan tuk kembali
tegarkanlah hati, kami disini meraih cintamu illahi.